Oleh: Toga Tambunan
KETIKA Budiman Sudjatmiko (BS) silaturahmi politik ke rumah tinggal jl. Kartanegara no. 4 Kebayoran Baru, Jaksel, prasangka baikku, hanya untuk main layangan memanfaatkan suasana kekhususan musim kurang hujan dewasa ini.
Sebagian kawan-kawannya kasus kudatuli memalu putusan pengkhianat kepadanya. Vonnis bermusuhan atas dirinya, tanpa mendengar rincian argumennya kenapa bermain gituan.
Sebagian lagi menanggapinya, apakah perlu dipersoalkan, biarkan saja. Mengingat hubungan PDIP dengan Pranowo Subianto (PS) sudah lama terjalin khusus spekulatif: hubungan korban kejahatan HAM yang menagih pengadilan, berangkulan dengan aktor utama pelaku kejahatan HAM yang menolak diadili. Pasangan anomali, saling sangsikan kepentingan masing-masing.
Megawati Soekarnopoetri (MS) selagi presiden petahana selaku capres PDIP pada debut pilpres 2009 pernah gandeng cawapresnya PS yang kalah melawan pasangan SBY & Budiono (B). Ada pula kenangan kesepakatan Batutulis, yang isinya dikabarkan seakan transaksi kulakan mirip di pasar sapi/kerbau.
Sebagian lagi cukup tegas mendukung dengan bermacam alasan antara lain berbasis kultural tradisional kombinasi idealisme perjuangan sepanjang main layangan itu tidak kehujanan. Korespondensi sampai basah kehujanan pastilah berakibat fesyennya kedodoran tak disadari sebagai output.
BS keluyuran menemui PS, asumsiku ajak bermain layangan, tanpa berkabar PDIP, cara mengorbitkan dirinya berkepribadian utuh manusia, memiliki kearifan inovasi individu selain mengakomodasi kearifan umum massa dan kearifan orangtua atau siapa pun tokohnya.
Selazimnya kodrat manusia sejatinya memang berkreasi inovatif, begitulah, membuktikan diri bukan robot atau sekadar petugas dari organisasi, lingkungan bersangkutan berada, tanda menanggalkan budaya feodalisme.
Tindakan mandirinya tersebut menolak atau kritik tajam terhadap budaya feodalisme yang memposisikan raja pemilik semua asset, sehingga gerakgerik abdi dalamnya sesuka raja maunya apa. Budaya era feodalisme itu ternyata bukan dalam ingatan saja, melainkan masih fungsional di partai tertentu.
Tersiar berita Puan Maharani menyatakan di Semarang 28.08.2023, bertajuk “Berita Politik Bukan Petugas Partai”. Puan Maharani sebut Jokowi salah satu kader terbaik PDIP kesayangan MS.
Menurutnya, kecintaan ketua umum Ibu MS pada kader terbaiknya yaitu Presiden Jokowi, tidak akan pernah luntur layaknya seorang ibu pada anaknya. Kasih ibu sepanjang masa,” kata Puan dalam acara Apel Siaga Capres dan Pileg PDI-Perjuangan Provinsi Jawa Tengah yang digelar di station Jatidiri, Semarang.
Dalam ulasan Puan Maharani dikutip diatas dan dari semua isi liputan beritanya, terbukti Puan tidak secuil pun membantah keras bahwa Jokowi bukan petugas Partai. Memang diakui Megawati sangat menyayangi Jokowi kader terbaik. Serentak itu, khalayak umum pun tetap kental ingat Megawati menegaskannya petugas partai diketuainya, dimana MS semacam tokoh raja pemegang hak previlese, kendali kuasa tertinggi menjalankan tugas konstitusinya.
Penetapan MS itu membangkit kenangan kepada Bung Karno (BK) yang berulangkali jujur sadar mengatakan: “Aku hanya Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Putrinya BK, MS ternyata lain.
Saya berasumsi pada debut pilpres tempohari, para pemilih Presiden Joko Widodo (JW), seperti saya mendasarkan pilihan pada track record JW atas kepribadiannya. JW kupilih bukan karena PDIP. JW dipilih rakyat lho menjabat Presiden, jangan dilorotkan jadi boneka dari suatu kelompok.
Lho, kenapa Megawati Soekarnopoetri tak mengatakan presiden JW itu petugas Rakyat atau petugas Konstitusi R.I yang diajukan oleh atau dari PDIP?
Persis langkah Kaesang Pangarep (Kp) memakai kaos bergambar PS, bukan berarti dia terikat sependirian PS. Beliau tetap berjuang bersama PDIP yang berharap tetap sustainable beridealisme BK Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kembali perihal BS. Terbukti kemudian dia bukan melulu main layangan bersama PS. Di Semarang dia memformat dirinya ke lubang Prabu yang direkayasanya. Tindakannya, terikat jodoh PS. Ternyata langkahnya bukan mencari pengakuan penolak budaya feodal. BS bukan lagi aktor teater anomali yang main layangan.
Ada rumor dia terima 200 M rupiah. Kalaupun itu benar, boleh saja diterima guna konstelasi main layangan, serentak mestinya kontinu cinta setia idealisme berjuang merevolusi kondisi rakyat sakit terpuruk miskin berubah menjadi sehat sejahtera. Nah itu bermain anomali tulen.
Merunut ke masa lalu MS pernah duet Prabowo Subianto sebagai capres & cawapres, dalam debut pilpres 2009. Pasangan Mega-Prabowo (M & P) pada era Mega selaku presiden petahana kalah terhadap pasangan SBY-Boediono (SBY & B)
PDIP menggandeng PS, komandan tinggi Team Mawar Kopassus operator kudatuli itu jadi cawapresnya MS, awal bermain anomali. Tentu sepenuhnya policy MS, pemegang hak previlese di PDIP.
Saat itu MS menurut analisaku memang tidak pede duduk kembali menjabat di kursi presiden RI. Berhubung di kala petahana itu, pulau Sipadan dan pulau Ligitan lepas dari NKRI. Terlebih lagi UUD 45 tergusur dimanipulasi jadi UUD 45 Amandemen. Jadi di kala itu, kondisi realistik, lebih baik main anomali dengan PS, gandeng PS jadi cawapresnya yang akan gagal menang.
BS berbeda posisi dan kapasitas organisatoris dibanding MS. Langkah BS main anomali mengikat jodoh dengan PS adalah kalkulasi algoritma entah apa rujukan dari siapa. Mandiri?
Jika berambisi membawa PS tidak terpilih dengan siasat Prabu mengulangi duet M & P yang kalah, langkah itu melorotkan posisinya ke titik nadir kehancuran.
Apakah target langkah itu dimaksudkannya mewakafkan dirinya bagi keutuhan nasionalisme Indonesia?
Orkes layangan anomali tandem PS itu tepat, selama dia menyandang atribut bersiasat, asalkan konduktor tetap patriotisme Pancasilais dalam dirinya. Selama itu pula akan mengkaji karakter Prabowo Subianto yang tadinya bewust orbais 100%, apakah benar bisa dan telah berubah jadi heroik Nasionalis Pancasilaisme 1Juni 1945, yang tentu berlangsung dalam waktu panjang.
Setidaknya PS menunjuk dimana jenazah para aktivis kudatuli 1996/1997 dan juga korban Mei 1998 serta jujur mengungkap sejarahnya.
Dapatkah disebut PS sudah berkarakter baru dan menanggalkan karakter orbais, tanpa pengakuan jujur mengungkap kebenaran di pengadilan?
Jika sudah bertindak jujur mengungkap kebenaran, memang layak kita bersama menyambutnya.
Orkestra anomali semacam disuguhkan diatas tadi itulah dapat berlangsung ditangan konduktor Jokowi. Resikonya, dia pun turut menanggung beban dicap oligarki, watak laten geng orbais di sekitarnya.
Posisi dan kapasitas BS bukan posisi dan kapasitas MS atau JW. Algoritmanya mewakafkan diri bersiasat mengikat jodoh begitu sungguh nyeleneh absurd banget, semoga tidak akan membawanya ke titik nadir lubang terpuruk.
Tapi masih ada kesempatan baik baginya asalkan kembali hanya main layangan anomali belaka dan batalkan ikatan jodoh itu.
Merdeka.
Bekasi, 28 Agustus 2023
*Penulis Toga Tambunan, pengamat sosial politik