Oleh: Dr. Maruly H. Utama *
KETUA DPC Gerindra dari ujung Pulau Jawa Bagian Timur mengirimkan buku Paradoks Indonesia dalam format PDF – portable document format. Tidak segera kubaca bahkan untuk mengucapkan terimakasih pun aku lalai, maaf Bung As!
Sebabnya karena pasca deklarasi Prabu di Semarang, aku mobile keliling kota di Sumatera. Bandar Lampung, Palembang, Jambi, Pekan Baru dan Bengkulu adalah kota prioritas untuk membangunkan sel tidur yang akan dikonsolidasikan Prabu.
Paradoks Indonesia aku selesaikan membacanya saat perjalanan dari Bengkulu menuju Lampung. Buku yang menarik, bukan karena ditulis oleh jenderal yang pernah memimpin Kopassus. Umumnya dari setiap isi buku biasanya kesimpulan akan diperoleh dihalaman terakhir atau ketika telah selesai membaca, tapi tidak dengan Paradoks Indonesia. Kesimpulan nya justru didapat di halaman awal.
Buku setebal 224 halaman ini adalah materi pendidikan politik bagi kader Gerindra. Isinya pun sangat teknis karena terdapat petunjuk operasional dalam kerangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sudah benar Budiman dalam menilai Prabowo sebagai pemimpin stratejik.
Saya teringat dengan Jenderal Mayor Soesalit Djojoadiningrat, putra semata wayang RA Kartini. Perwira tinggi militer yang dekat dengan Amir Syarifuddin. Pernah menjabat sebagai Panglima Divisi III, tetapi karir militernya kandas pasca peristiwa Madiun. Soesalit adalah tentara kiri yang mengagumi Mao Tse Tung. Menyukai seragam militer seperti Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok.
Jika Paradoks Indonesia ditulis oleh Soesalit menjadi hal yang lumrah dan biasa saja, yang mengherankan jika yang menulis adalah tentara dengan latar belakang keluarganya bangsawan sosialis kanan, pernah berhadap-hadapan dengan gerakan kiri, tumbuh dalam lingkungan yang anti demokrasi tetapi mengerti dan menguasai teori dan praktek keadilan sosial.
Keheranan yang tidak memerlukan jawaban sekarang juga, sebagaimana keheranan saya dalam melihat ketentuan batal wudhu yang disebabkan buang angin. Bukan saluran pembuangannya yang dibersihkan malah yang dicuci adalah tangan, hidung, wajah, kepala, telinga dan kaki.
Jika pernah mendengar atau membaca kutipan Soekarno: “Dalam Cita-cita politikku, aku ini seorang Nasionalis. Dalam cita-cita sosialku, aku ini Sosialis. Dalam cita-cita sukmaku, aku ini Theis. Benar-benar percaya adanya Tuhan, benar-benar menyembah Tuhan”. Maka Paradoks Indonesia adalah buku yang menjelaskan perspektif Soekarno tentang Nasionalis, Sosialis dan Tuhan sekaligus.
Budiman Stratejik, Yang Lain Taktik
Sama seperti Jokowi, Budiman lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Kuliahnya pun ditempat yang sama, UGM. Bedanya Jokowi berhasil menyelesaikan studinya sementara Budiman DO karena lebih memilih menjadi aktivis untuk hidup bersama petani. Pada daerah yang terdapat konflik tanah era 90an Budiman pasti hadir untuk membela petani yang sedang berlawan dengan Regim
Usia 26 tahun Budiman sudah memimpin PRD. Satu-satunya partai politik yang memiliki saham terbesar dalam penggulingan Regim Orde Baru. Pernah dipenjara, dari dalam penjara tetap memimpin perlawanan yang dilakukan kawan-kawannya di luar penjara. Saat Regim terguling Budiman dkk melakukan gugatan di MA dan menang sehingga PRD menjadi partai legal.
PRD menjadi peserta Pemilu 1999, rangking ke 40 dari 44 parpol peserta Pemilu karena Ketum dan Sekjendnya masih didalam penjara.
Tahun 2002 Budiman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya yang gagal di UGM. Pulang dari Inggris bergabung dengan PDIP, partai yang baru saja kalah pada Pemilu 2004 dan memilih menjadi oposisi.
Saat pemerintahan SBY menaikkan harga BBM, Hasto hanya bisa menangis meraung-raung seperti berang-berang yang telat dikasih makan di belakang rumah. Hanya SBY yang bisa membuat Hasto menangis, setelah kepemimpinan 2 periode SBY, selain tidak pernah menangis lagi Hasto bermetafor menjadi koboi. Menembakan pelurunya secara membabi buta kepada semua orang yang dianggap lawan politiknya. Faksi dominan di PDIP diluar Megawati dan Puan Maharani.
Budiman bukan seperti politisi kebanyakan yang muncul tiba-tiba pasca reformasi. Sejak awan gelap demokrasi menyelimuti negeri ini, dia sudah mengambil peran signifikan. Pernah dimanfaatkan PDIP untuk menginisiasi UU Desa, pernah juga digunakan istana ketika kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan. Tindakannya selalu setia digaris massa.
Tidak banyak politisi seperti Budiman, yang mau berpikir dan bekerja. Berpikir dengan membangun teori sebagai pedoman dalam melakukan-kerja-kerja politik yang konkret. Datang ke rumah musuh (Kertanegara IV) dengan membawa ide Persatuan Nasional tanpa RAB – Rencana Anggaran Biaya. Sekarang sedang membangun basis-basis Prabu di wilayah barat, tengah dan timur Indonesia.
Ketika Cawapres lain bergerilya bertemu Ketua Parpol dimeja negoisasi, melakukan pencitraan klaim kesuksesan dibawah bayang-bayang Jokowi. Sementara itu, secara terbuka Budiman justeru membangun Persatuan Nasional lintas sektoral, lintas aktivis – intelijen, lintas ideologi, politik dan organisasi. Dengan tujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik melanjutkan kerja Jokowi dan membangun benteng pertahanan rakyat semesta guna menghadapi krisis global. Salah satu upaya untuk melepaskan belenggu inferioritas sebagai sisa-sisa bangsa jajahan.
Pulau Rempang sudah menjadi PSN – Proyek Strategis Nasional yang bertujuan memberi kontribusi signifikan dalam pembangunan Nasional dengan harapan mampu bersaing dalam perekonomian global. Karena teknis operasionalnya keliru malah menjadi blunder karena mendapat perlawanan dari rakyat. Lebih jauh lagi isu Pulau Rempang ditunggangi kepentingan politik untuk menggagalkan PSN.
Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa pembangunan harus tercapai, rakyat harus mendapatkan keuntungan bersama negara dan investor. Jangan mengorbankan rakyat adalah prinsip. Sementara taktik yang dilakukan selama ini justeru memakan strategi Jokowi.
Butuh jalan keluar untuk menjawab problematika Pulau Rempang. Hanya Budiman yang mengerti dan paham agar PSN Pulau Rempang bisa didukung oleh rakyat, bukan dengan penggusuran, perampasan tanah atau berbagai bentuk tindakan represif lainnya.
Untuk soal ini jangan meragukan Budiman karena hanya dia yang bisa merumuskan strategi taktik agar PSN tetap berjalan dan rakyat mendapat keadilan.
Budiman adalah politisi stratejik, politisi yang memegang teguh IPO – ideologi, politik, organisasi, cermin politisi era 50 an yang selalu bertarung soal gagasan. Politisi yang tidak mau berhubungan dengan kardus atau kresek hitam sebagai perangkat transaksi yang lazim digunakan politisi lainnya.
Capres stratejik harus selalu didampingi oleh Cawapres yang stratejik. Jika tidak “Paradoks Indonesia” hanya menjadi dongeng pengantar tidur. Jika Jokowi berani merangkul Prabowo tahun 2019, sebagai kader Jokowi mestinya Prabowo berani merangkul Budiman untuk 2024. Karena jika itu tidak dilakukan namanya taktik makan strategi.
*Penulis Dr. Maruly H. Utama
DPP Prabu – Dewan Pimpinan Pusat Prabowo Budiman Bersatu