Senin, 16 September 2024

Tanah Tanimbar Tak Boleh Jadi Kemelut Peradaban Karena Proyek Masela

Oleh: Dr. Polly Koritelu, MA *

SUNGGUH sangat miris ketika melihat nasib rakyat pemilik hak adat atas tanah-tanah yang hingga kini masih belum menemukan titik jelas atas harapan-harapan mereka. Padahal status kepemilikan (hak petuanan dan hak adat lainnya sudah lebih dulu ada sebelum Republik ini dimerdekakan.

Karena itu melihat berbagai perkembangan yang kian tidak jelas atas pembayaran hak-hak rakyat atas hak petuanan adat yang sudah sejak leluhur secara arif dan bijaksana mereka peroleh,–melalui perang, melalui kesepakatan adat atau bahkan melalui cerminan budaya duan Lolat yang selalu komplementer bagi eksistensi Ketanimbaran sepanjang masa.

Sungguh sebagai sosiolog saya mesti mengatakan bahwa cara penyelesaian persoalan kepemilikan tanah di jaman dulu sesungguhnya memperlihatkan sebuah kualitas dan martabat manusia yang patut kita banggakan.

Sebagai orang modern di jaman ini, kita mestinya malu besar atas berbagai kegagalan kita. Mengapa? karena mereka memiliki saluran-saluran dan akses yang sangat terbatas namun kesahajaan mereka dengan berbagai lokal wisdom dan local knowladge bisa secara strategis-arif dan bijaksana menempatkan kepentingan kemanusiaan secara bersama pada proporsi yang melebihi kepentingan apapun. Ini tentu menjadi sebuah oto-kritik yang dalam atas proses degradasi moralitas kolektif kita semua terhadap berbagai hasil penyelesaian persoalan hak-hak adat rakyat yang tak kunjung memperlihatkan sebuah keberpihakan atas harapan dan kepentingan rakyat.

Tanah seharusnya tak boleh jadi simbol kemelut peradaban. Saya menantang semua pihak termasuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk kembali berpikir ulang demi kepentingan rakyat pemilik hak adat atas tanah dengan beberapa alternatif.


Esensinya ak milik atau hak petuanan adat rakyat tak perlu dijual. Malah sebaiknya disertakan sebagai aset investasi dan membiarkan kepemilikan itu ada selamanya sebagai ketetapan surga bagi kelompok masyarakat itu.

Artinya sebagai aset investasi tinggal disepakati saja kurun waktu kontraknya dengan pihak investor, 50 tahun atau lebih. Agar sekalipun tidak dalam bentuk ganti rugi tanah namun selamanya rakyat tetap akan memperoleh manfaat yang membuat mereka kian beradab.

Bahwa melalui asset investasi tanah rakyat maka berbagai pihak akan diuntungkan. Pihak Investor tetap diuntungkan karena hak pengelolaan 100% akan ada pada mereka tanpa lagi diganggu oleh rakyat. Disamping itu mereka tidak sekaligus kehilangan financial cost yang besar dan sangat merumitkan seperti apa yang terjadi sekarang diberbagai daerah di Indonesia. Karena jumlah uang besar tersebut kemudian menjadi magnet yang terlalu banyak menarik pentingan berbagai pihak untuk ikut bermain dan kian memperkeruh suasana itu.

Investor juga akan tetap aman berinvestasi karena rakyat tidak akan mengganggu dan sepenuhnya akan tunduk di bawah kesepakatan kontrak. Apalagi kalau setiap bulan rakyat pemilik hak petuanan adat atau hak-hak adat dapat tetap terjamin. Sebab dengan menyertakan tanah mereka sebagai aset investasi mereka akan memiliki saham atas proses berjalannya eksploirasi Blok masala.

Sekalipun dengan prosentasi yang kecil setiap bulan mendapatkan uang tidak sebanyak yang sekali dapat saat ganti rugi tanah namun demikian gagasan tentang sustainable development akan memiliki dampak nyata dalam hidup rakyat pemilik petuanan adat atas tanah atau pemilik tanah. Tempat keberlanjutan hidup keluarga mereka tetap terjamin.

Ini menjadi penting sebab kita akui bahwa secara universal mentalitas pengelolaan uang dalam jumlah besar sangat memprihatinkan. Sehingga boleh jadi uang banyak dalam jangka waktu singkat akan lenyap dan status kemiskinan jangka panjang akan Kembali menghantui kehidupan rakyat pemilik tanah yang hanya sementara beroleh status sebagai orang kaya.

Manfaat lainnya bagi rakyat ialah mereka tidak akan pernah kehilangan 3 hal yang secara esensial berdasarkan perspektif sosiologis melekat pada tanah, yaitu pertama, tanah sebagai identitas kolektif. Kedua, tanah sebagai sumber pencaharian ekonomi. Ketiga, sebagai sumber kekuasaan kolektif. Rakyat tidak akan kehilangan 3 hal esensial tersebut.

Sebaliknya jika tanah itu dijual maka dalam waktu bersamaan pemilik hak petuanan adat atau milik pribadi akan sekaligus kehilangan ketiga hal itu. Kemiskinan sesungguhnya selalu inheren bagi kelompok masyarakat yang secara rasional objektif kehilangan 3 hak istimewa tersebut. Ini bisa dibandingkan dengan berbagai fenomena kemiskinan yang ada baik di kota-kota besar hingga pedalaman bangsa ini.

Sebab secara sosio-historis keputusan generasi sekarang untuk menjual tanah tidak selalu berbanding lurus dengan kehendak dan berbagai petuah para leluhur yang semestinya harus tetap dijunjung tinggi.

Karena itulah ketika hal esensial ini dilanggar maka sesungguhnya perwujudan dan manivestasi dosa terhadap kebudayaan menjadi satu realitas sosiologis yang tak terbantahkan. Sebagai konsekwensinya ialah realitas kemiskinan diantara sebaran kekayaan alam menjadi tidak terhindarkan. Silahkan dilihat dan dicermati dalam fenomena ke-Indonesiaan kita hari ini.

Sebagai sosiolog, tokoh Tanimbar bahkan sebagai tokoh agama Maluku saya menghimbau dan mengajak semua pihak sebelum segala sesuatu terlambat. Saya secara khusus mengajak pemda baik pemda Kabupaten KKT dan MBD yang terkait secara langsung dengan Blok Masela beserta pemerintah Provinsi agar bisa mempertimbangkan berbagai gagasan saya di atas sebagai satu bentuk sentuhan atas proses degradasi nurani kolektif kita semua yang kian tergeser oleh karena berbagai kepentingan yang ada saat ini.

Secara khusus saya mengajak berbagai pihak yang akan memiliki kepentingan besar di tahun 2024 yang akan datang, bisakah kita duduk bersama untuk memformulasikan akumulasi kepentingan rakyat atas persoalan berlarut-larut yang tak kunjung selesai.

Saya memohon dalam segala kerendahan hati agar berhenti mempolitisasi situasi dan kondisi untuk kepentingan politik di tahun 2024 nanti. Sebab itu akan semakin menambah kualitas maupun kuantitas dosa terhadap kebudayaan itu sendiri dan akan terus berujung pada semakin melembaganya realitas kemiskinan rakyat di tengah sebaran kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Good will pemerintah yang berpihak bagi kepentingan rakyat sebagai variabel penentu good will government.

Secara sederhana kita bertanya kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten,– sesungguhnya berpihak pada rakyat atau kepada kepentingan Investor?

Saya tentu tidak perlu secara vulgar menjawabnya namun demikian naluri sosiolog saya berkata bahwa jawaban paling objektif atas pertanyaan itu demikian kuat membahana dalam bentuk kegelisahan batin seantero rakyat kita hari ini termasuk basudara saya yang ada di Tanimbar maupun di Maluku Barat Daya.

Jika demikian lalu apa yang harus dilakukan? Sesungguhnya jika kita belajar dari berbagai gagasan-gagasan yang sangat klasik baik yang dikemukakan, Aristoteles, Plato hingga yang paling klasik dari Cicerro menempatkan pemerintah formal bukan saja sebagai satu pihan rasional untuk menghadirkan sebuah konsep dan praktek kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Pada sisi lainnya pemerintah kita justru secara yuridis-formal memiliki legitimasi yang paling sahih untuk melakukan berbagai hal guna perwujudan berbagai kepentingan rakyat yang menjadi sumber otoritas dan legitimasi itu.

Dalam fakta sosiologis pertanyaan di atas kemudian menemukan sebuah propaganda secara sangat mendasar bahwa jika sumber otoritas dan legitamasi itu bersumber dari rakyat, kenapa eksistensi pertanggung-jawaban pemerintah bagi rakyat pemilik legitimasi tersebut menjadi demikian rapuh? jika terpaksa dilakukan hal itu hanyalah sebuah gambaran dari berbagai lakon sandiwara yang sengaja dimainkan hanya demi kepentingan pencitraan di mata publik.

Kehendak baik pemerintah untuk melindungi dan mewujudkan kepentingan yang berpihak kepada rakyat memang sedang berada pada ambang batas yang sangat memprihatinkan.

Mengapa bisa seperti itu? Simmel dengan sangat bijaksana menjawab itu dalam gagasan klasiknya yang tertuang dalam buku The Philosophy of Money.

Dari perspektif ini Simel hanya ingin mengingatkan kita bahwa eksistensi diri manusia, termasuk pemerintah bisa hilang lenyap manakala uang menjadi satu variable yang secara dominan tidak saja dijadikan alat untuk mencapai tujuan hidup, tetapi uang sesungguhnya telah menjadi tujuan dari kehidupan itu sendiri. Pada titik inilah uang bisa mengubah status budaya seseorang, dari rendah menjadi tinggi dan berpengaruh. Uang bisa menjadi alat yang sangat menentukan kebenaran keputusan hukum bagi setiap mereka yang bersengketa dalam hukum formal. Uang bisa menjadi alat sogokan yang menentukan kemenangan politik bahkan uang bisa menjadi jelmaan tuhan baru bagi hidup manusia. Uang bisa menjadi berhala modern yang jelmaannya sungguh bisa memporak-porandakan nurani individu dan nurani kolektif setiap orang termasuk pemerintah kita.

Dalam posisi inilah memang rakyat punya aset untuk berinvestasi namun rakyat tak punya uang. Jika begitu apakah wajar jika pemerintah hanya berpihak kepada yang punya uang? Saya kira jawabannya adalah sangat tidak wajar. Justru kiblat keberpihakan pemerintah harus benar-benar tertuju kepada rakyat yang telah memberikan legitimasi bagi pemerintah sehingga pemerintah bisa memperoleh otoritas dan kuasa untuk memerintah termasuk memaksa rakyat tunduk pada kehendak kepemerintahannya.

Mari semua pihak dapat bekerja bersama mendorong semua proses agar kepentingan rakyat bangsa dan negara yang jadi prioritas dan jangan kepentingan lainnya.

Saya juga menghimbau segenap politisi kita yang punya kepentingan langsung tahun politik 2024 agar sungguh-sungguh menterjemhkan apapun yang menjadi kehendak rakyat secara bersahaja agar otoritas kekuasaan yang akhirnya diperoleh di tahun 2024 nanti bukan saja sebatas kekuasaan untuk memerintah atas orang lain, tetapi sesungguhnya menjadi sebuah kesempatan emas untuk melayani rakyat dengan penuh dedikasi dan ketulusan.

Hanya satu harapan dan doa saya agar nasib rakyat sungguh-sungguh menjadi sebuah prioritas teristimewa masyarakat pemilik petuanan tanah adat di Nustual, Lermatang, Kabupaten Kepualuan Tanimbar.

*Penulis, Dr. Polly Koritelu, MA, sosiolog Maluku, Anak Negeri Duan Lolat (Tanimbar), Ketua Umum PGIW Maluku

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru