Sabtu, 18 Januari 2025

Tepat! Benny Rhamdani: Putusan MA Cacat Hukum, Paripurna DPD Tetap Pilih Pimpinan Baru

JAKARTA- Wakil Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Benny Rhamdhani menegaskan cacat hukum pada putusan Mahkamah Agung (MA) tentang ketidak absahan kocok ulang pimpinan DPD. Untuk itu Pada hari Senin (3/4), DPD akan tetap mengadakan Sidang Paripurna dengan agenda memilih pimpinan baru lembaga tersebut. Hal ini ditegaskannya kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (3/4) sebelum Sidang Paripurna DPD.

“Tetap lanjut. Itu hak dan kewajiban seluruh anggota DPD yang datang dari berbagai daerah untuk memilih pimpinan DPD yang baru,” tegasnya.

Anggota DPD RI dapil Sulawesi Utara  menjelaskan cacat hukum dari putusan MA tersebut. Dalam amar putusan angka 2 dinyatakan, “Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan karenanya tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

“DPD RI tidak pernah punya Peraturan Undang-Undang No. 1 Tahun 2017, yang ada adalah Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tetang Tata Tertib DPRD. Dengan demikian obyek hukum yang diperintahkan untuk dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku salah sasaran. Dengan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan, dalam amar putusan angka 3, dinyatakan, “Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib”.

Ada persoalan hukum terkait dengan putusan ini. Putusan ini memerintahkan DPRD untuk mencabut Tatib DPD RI, bagaimana logikanya? Harusnya memerintahkan kepada DPD bukan kepada Pimpinan DPD. Karena pimpinan tidak memiliki otoritas mencabut Tatib. Rapat Paripurnalah yang berwenang untuk melakukan perubahan atau pembatalan Tatib,” tegas Benny Rhamdani.                        

Dari cacatnya secara hukum  putusan MA tersebu maka ia menegaskan konsekuensi hukumnya adalah Putusan MA itu tidak mengikat dan dapat dikesampingkan.                       

“Dalam sistem peradilan Indonesia tidak dikenal adanya perbaikan putusan setelah putusan tersebut ditetapkan dan/atau diserahkan ke para pihak,” tegasnya.                       

Jika dikemudian hari akan dilakukan permohonan uji materiil lagi atau dimohonkan perbaikan maka akan berbenturan dengan asas “nebis in idem” yang menyatakan bahwa tidak boleh suatu perkara yang sama obyeknya diajukan lebih dari sekali.                       

Senada dengan Benny Rhamdani, praktisi hukum yang juga mantan hakim agung  M. Yahya Harahap berpendapat, secara doktrin, clerical error masih bisa ditoleransi. “Sepanjang secara substansial tidak menimbulkan masalah pokok menjadi masalah lain, masih bisa ditoleransi, tuturnya. Namun kalau secara substansial memunculkan masalah lain ya tidak bisa ditolerir, invalidated,” tegasnya.

Berujung Deadlock

Sebelumnya Rapat Panitia Musyawarah (Panmus) DPD RI yang diselenggarakan Minggu (2/4) pukul 13.00-21.30 berujung deadlock. Keputusan yang seharusnya dihasilkan justru akan dilimpahkan dalam Rapat Paripurna para senator yang digelar, Senin (3/4). Diprediksi, rapat yang seharusnya menemukan pimpinan baru DPD RI itu bakal kisruh.

Wakil Ketua DPD RI, Farouk Muhammad mengatakan, Rapat Panmus DPD RI berlangsung alot.

“Yang satu bilang cacat yang satu bilang redaksional hasil putusan MA soal gugatan Peraturan DPD No 1 tahun 2016 dan 2017,” ungkapnya dalam konferensi pers usai Rapat Panmus di Komplek Parlemen, Senayan, Minggu (2/4) malam.

Menurut senator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, tidak dihasilkannya keputusan yang kongkrit dalam Rapat Panmus ini lantaran putusan yang dikeluarkan MA ada ketidaktelitian.

“MA buat amar putusan sehingga kita seperti ini. Kami coba ambil benang merah yang kita sepakati. Karena memang ada anggota besok akan ada rapat paripurna sesuai jadwal,” pungkasnya.

Dalam Rapur, urai Farouk, agendanya pertama adalah menyampaikan putusan MA yang dianggap tidak bisa mengambil sikap dan keduanya, bila ada permasalahan lain yang timbul selama rapur bisa diputuskan selama tidak melanggar hukum.

“Putusan MA dulu karena itulah yang buat kita begini. Salah redaksi masa kalimatnya DPRD,” tukasnya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, mengenai status pimpinan masih tetap dan tidak ada pergantian ataupun perpanjangan. “Besok rapur kita bertiga (Saleh, Hemas dan Farouk, red) masih legal pimpin sidang,” imbuhnya.

Sementara anggota DPD RI lainnya, Ahmad Muqowam mengutarakan, bila hasil putusan MA disikapi dalam rapur nanti dan menjadi putusan rapur itu melompat.

“Jadi rapur itu besok dilaksanakan untuk menyikapi putusan MA. Pimpinan itu pimpinan lembaga bukan direksi. Jadi apa yg d sampaikan tadi harus di parupurnakan. Ini bukan kerajaan. Besok rapur adalah resiko dan konsekuensi dari putusan MA itu sendiri,” kata Muqowan dilokasi yang sama.

Ditegakkannya, rapur nanti bisa menjadi ajang penolakan dari hasil putusan MA. Karena, apapun putusan tertinggai DPD adalah paripurna.

“Agenda pemilihan pimpinan tetap. Karena belum dibatalkan. Konsekuensi putusan MA yang ngawur secara redaksionalnya tetap ada,” tuntasnya. (Web Warouw)

 

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru