PONTIANAK – Pengamat hukum dan politik di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Tobias Tanggie, mengingatkan seluruh masyarakat apabila mengingingkan terbebas dari sikap intolerans, maka semua pihak mesti beriman menggunakan logika dan akal sehat.
Hal itu dikemukakan Tobias Ranggie, Jumat (13/1), menanggapi penolakan warga Dayak terhadap Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (Wakil Sekjen DPP MUI), Tengku Zulkarnain di Bandar Udara Susilo, Sintang, pukul 09.30 WIB, Kamis, (12/1).
Dalam rilis Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polisi Daerah Kalimantan Barat, Komisaris Besar Polisi Suhadi, disebutkan penolakan karena adanya statement atau pernyataan Tengku Zulkarnain, di salah satu media sosial yang mengatakan warga Suku Dayak kafir dan tidak pantas masuk surga dan bahkan lebih buruk dari binatang.
Diungkapkan Tobias, apabila Tengku Zulkarnain memang benar mengungkapkan kata-kata kafir terhadap Suku Dayak di Kalimantan, berarti secara tidak langsung atas nama MUI, telah menciptakan sikap permusuhan antar segenap komponen masyarakat.
“Dengan menyebutkan kata-kata kafir secara terbuka terhadap masyarakat di Indonesia yang bukan beragama Islam, sudah cukup dijadikan bukti sebagai sikap intolerans yang membahayakan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia,” kata Tobias.
Diungkapkan Tobias, beriman menggunakan logika dan akal sehat, menjadi sangat penting di tengah-tengah masyarakat majemuk, agar di dalam pribadi seseorang melahirkan sikap yang mengedepankan kesalehan sosial, karena tidak menganggap diri dan kelompoknya saja paling benar.
Tobias mengatakan, seseorang pemilik kesalehan sosial, akan berpikir dan bersikap di luar agama dan kelompoknya tetap ada keselamatan, sebagai implikasi pengakuan terhadap keberagamaan dan kebhinekaan Bangsa Indonesia.
Diungkapkan Tobias, kesalehan sosial, sangat bertolak belakang dengan kesalehan individu. Karena di dalam kesalehan individu, orang hanya mampu beranggapan diri dan kelompoknya saja paling benar. Karena pemilik kesalehan individu, terlalu asyik tinggal di kediaman paling dalam, yakni etnisitas dan religiositas.
Kepada Bergelora.con dilaporkan, dampak buruk dari pemilik kesalehan individu, ujar Tobias, memunculkan sikap dan paham radikal, sikap intolerans, karena orang lain di luar etnis dan agamanya, adalah musuh yang harus dibasmi.
Terlalu mudah menuding pihak lain tanpa dasar di luar etnis dan agamanya sebagai orang kafir, dampak negatif para pemilik kesalehan individu.
Sementara saat bersamaan, turut Tobias, tidak ada jaminan orang yang terlalu mudah menuduh orang lain kafir, kalau meninggal dunia, mereka otomatis masuk surga.
“Kemudian tidak ada jaminan pihak yang menuding pihak lain kafir, kualitas iman dan keteladanan moralnya akan lebih baik,” kata Tobias. (Aju)