Oleh: Dr. Erta Priadi Wirawijaya, SpJP*
Pasien datang ke rumah sakit ingin berobat, tapi untuk penyakit dengan diagnosis yang sama terapi yang diberikan bisa sesuai panduan (semestinya) atau sesuai keterbatasan (seadanya). Maaf jika saya katakan dari sekarang dulu dan sekarang di Indonesia terapi banyak diberikan sesuai keterbatasan.
Kalau diambil kasus serangan jantung dengan infark misalnya, dalam 12 jam pertama bila dalam 60 menit bisa PCI (percutaneouscoronary intervention) pilihlah Primary PCI. Jika tidak, ya berikan obat Fibrinolitik.
Untuk Jawa Barat dengan 46 juta penduduk Primary PCI hanya bisa dilakukan di Rumah Sakit Hassan Sadikin (RSHS). Jadi seharusnya fibrinolitiklah yang banyak diberikan. Tapi kenyataannya tidak. Kenapa? Karena obat ini mahal. Sekali pemberian harganya sekitar Rp 5 juta. Sehingga selama ini umumnya hanya mereka yang mampu atau memiliki asuransi yang mendapatkannya.
Lantas pasien-pasien ini sebaiknya dirawat di ruangan bermonitor yang siap jika sewaktu-waktu pasien mengalami komplikasi henti jantung. Tapi pada kenyatannya banyak yang dirawat di ruang biasa saja. Tanpa monitor sehingga pasien berisiko meninggal tanpa ketahuan.
Obat-obat yang diberikan, misalnya antikoagulan UFH (Unfractionated Heparin) seharusnya dosisnya disesuaikan dengan target aPTT 50-70″. Antikoagulan UFH adalah obat anti penggumpalan darah yang umum diberikan pada kasus serangan jantung. Biasa digunakan untuk meminimalkan resiko serangan ulang saat perawatan. Tapi biaya pemeriksaannya mahal sehingga obat diberikan tanpa kontrol dosis.
Atorvastatin yang juga direkomendasikan untuk diberikan saat jelas terjadi infark ternyata tidak bisa diberikan karena ada aturan harus periksa dulu profil lipid dan (maaf) golongan obatnya tidak ditanggung.
Kasus ini beda dengan kasus-kasus biasa yang hanya butuh perawatan dan pengobatan biasa seperti diare, demam berdarah, tyfoid (tipus), dan lainnya. Kasus-kasus itu umumnya di banyak rumah sakit sudah sesuai standar. Tapi ketika kita bicara kasus yang butuh obat mahal, alat canggih, biaya rawat menjadi sangat berbeda. Sayangnya tetap dianggap sama dan dirata-ratakan.
Minus Besar
Hasil akhirnya tarif Ina CBGs (yang mengatur sistem pembayaran pelayanan yang dijalankan oleh BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial-red) banyak yang minus besar. Akibatnya sekarang rumah sakit yang mau memberikan terapi sesuai standar terpaksa menyesuaikan dengan tarif yang nilainya minim. Pelayanan yang sudah sesuai standar terpaksa menjadi substandar.
Substandar bagaimana? Sekarang pasien infark miokard tanpa komplikasi hanya ditanggung Rp 4,2 juta di rumah sakit kelas C. Obat fibrinolitik harga Rp 5 juta, diganti hanya Rp 927 ribu. Apa cukup untuk obat-obatan, pemeriksaan laboratorium, dan ruang intensif?
Terapi semestinya dengan seadanya tentunya menghasilkan harga yang berbeda. Hasilnya? Tentu berbeda. Tapi masyarakat sih puas-puas saja ya asal bisa dirawat. Tinggal bilang maaf kita sudah berupaya maksimal, sesuai plafon yang tersedia.
Semoga ada niat dari pemerintah khususnya kemenkes untuk memperbaikinya. Dokter pada hakikatnya ingin menolong semaksimal mungkin tanpa perlu diingatkan: “Dok obatnya tidak masuk fornas (formularium nasional, daftar obat yang dibayar pemeritah-red)” “Dok pasiennya tidak bisa dirawat di ICU,” “Dok sudah overplafon (lewat jatah kuota pembiayaan-red).”
*Penulis adalah dokter dan ahli jantung, bekerja di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat