Selasa, 1 Juli 2025

Tiga Masalah Dalam RUU MD3

JAKARTA- Rancangan Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) versi DPR memiliki setidaknya tiga masalah dalam implementasinya, terutama proses legislasi model tripartit (DPR, DPD, dan Pemerintah) sebagai konsekuensi putusan MK tanggal 27 Maret 2013 yang tidak teradopsi. DPD mendorong pengaturan model tripartit itu yang harus terwujud konsistennya dalam revisi UU MD3.

 

Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD I Wayan Sudirta, anggota DPD mewakili Bali yang juga Koordinator Tim RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD bersama wakilnya, Anang Prihantoro, anggota DPD  mewakili Lampung, menegaskannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/6).

RDP menghadirkan Zain Badjeber, mantan anggota DPR/ MPR dan mantan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Anak Agung Gede Ngurah AAGN Ari Dwipayana, dosen jurusan politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM)], serta Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Centre (IPC) Sulistio, dan Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri.

Dalam pengantar acara, Anang menjelaskan bahwa tanggal 4 Juni 2014, pimpinan DPD bersama pimpinan Tim RUU MD3 DPD menghadiri pertemuan konsultasi yang diselenggarakan Pansus RUU MD3 DPR yang menghadirkan pimpinan MPR dan pimpinan DPR. Dalam kesempatan itu, Tim RUU MD3 DPD mempertanyakan materi draft RUU MD3 versi DPR yang tidak mengadopsi putusan MK tanggal 27 Maret 2013 yang lalu.

“Akan ada masalah dalam implementasinya,” ujar Wayan.

Dia mencontohkan tiga masalahnya, yakni RUU MD3 versi DPR mengatur penyelenggaraan sidang tahunan MPR serta menghapus sidang bersama DPR-DPD dalam bab, pasal, dan ayat tentang DPR tapi mempertahankannya dalam bab, pasal, dan ayat tentang DPD.

Kemudian, RUU MD3 versi DPR tidak mengatur proses legislasi model tripartit (DPR, DPD, dan Pemerintah) sebagai konsekuensi putusan Mahkamah Konstistusi (MK) tanggal 27 Maret 2013 ihwal konstitusionalitas hak dan/atau wewenang DPD. Selain itu, desain keparlemenan (lembaga perwakilan) dalam UU MD3 justru menyulitkan pengembangan supporting system DPD untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya.

“Oleh karena itu, kami mendorong revisi UU MD3. Kami memang mesti berbenah, tapi putusan MK itu harus terwujud konsistennya dalam UU. Jadi, tercermin dalam mekanisme kerja DPD ketika melakukan artikulasi dan agregasi dalam menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah. Dan, dalam perkembangan pembahasan revisi UU MD3, justru banyak pihak yang mengusulkan agar DPD diatur dengan UU tersendiri, begitu pun DPR diatur dengan UU tersendiri.” Ujarnya.

RUU MD3 versi DPR merupakan rumusan Panitia Kerja (Panja) RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Tanggal 24 September 2013, Rapat Pleno Baleg DPR menerima laporan Panja RUU MD3. Berikutnya tanggal 28 Januari 2014, Rapat Paripurna DPR menyetujuinya sebagai usul inisiatif dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU MD3.

Wayan menjelaskan, Tim RUU MD3 DPD bertugas antara lain mengkaji dan menganalisa materi RUU MD3 dan RUU P3 sebagai bahan pembahasan bersama DPR dan Pemerintah. Tim RUU MD3 DPD mewakili DPD dalam rapat Pansus RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dipimpin ketuanya, Benny Kabur Harman (Fraksi Partai Demokrat/F-PD), bersama dua wakilnya, Fahri Hamzah (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera/F-PKS) dan Ahmad Yani (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan/F-PPP).

Wayan juga menerangkan, tanggal 16 April 2014 Ketua DPD bersama Ketua PPUU DPD bertemu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) untuk membahas pengadopsian putusan MK dalam revisi UU MD3. Dia berharap, RUU MD3 yang nantinya disahkan menjadi UU akan membangun parlemen yang kredibel, akuntabel, dan transparan, serta akan menata relasi antarlembaga perwakilan DPR dan DPD, termasuk penggabungan dua sekretariat jenderalnya. RUU perubahan UU MD3 ditargetkan selesai sebelum pelantikan anggota DPR dan DPD yang baru tanggal 1 Oktober 2014.

Tanggal 27 Maret 2013, MK mengabulkan permohonan DPD untuk sebagian. Kedudukannya di bidang legislasi menjadi setara DPR dan Presiden. MK memutuskan DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan RUU tertentu dan membahasnya sejak awal hingga akhir. DPD tidak terlibat persetujuan atau pengesahan RUU menjadi UU. MK juga memutuskan DPR, DPD, dan Pemerintah menyusun program legislasi nasional (prolegnas).

Tanggal 14 September 2012 DPD mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap UUD 1945, yang diwakili oleh pimpinan DPD, yaitu Irman Gusman (Ketua DPD), La Ode Ida (Wakil Ketua DPD), dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Wakil Ketua DPD).

Dalam pertimbangannya mengenai hak dan/atau kewenangan DPD mengajukan RUU, MK menilai DPD mempunyai posisi dan  kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden menyangkut pengajuan RUU tertentu, ihwal otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan derah.

Mengenai kewenangan DPD ikut membahas RUU, MK menilai DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU. Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas daftar inventaris masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD  harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.

Menyangkut kewenangan DPD ikut menyetujui RUU, DPD dapat saja ikut membahas dan memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang membahas RUU pada tingkat II, tetapi tidak memiliki hak memberi persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan. Persetujuan terhadap RUU untuk menjadi undang-undang, terkait ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa hanya DPR dan Presiden yang memiliki hak memberi persetujuan atas semua RUU. (Dian Dharma Tungga)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru