Oleh: Dr. Kurtubi *
RENDAHNYA produksi minyak nasional karena SALAH KELOLA **. Padahal potensi sumber daya migas di perut bumi secara geologis masih sangat besar yang berada di lebih 120 sedimentary basins (cekungan) yang belum seluruhnya di explorasi.
Belum lagi potensi oil & gas shale yang ada direkahan bumi. Potensinya banyak terdapat di Sumatra, Kalimantan dan lainnya, yang hingga kini BELUM samasekali mulai dipikirkan dan disentuh.
Padahal Teknologi baru untuk oil & gas shale ini sudah proven dan telah mampu menaikkan produksi minyak Amerika dengan sangat significant. Produksi minyak naik dari 8 juta bph menjadi 15 juta bph !!!. Juga telah mampu menaikkan produksi gas Amerika yang sebagiannya diekspor dalam bentuk LNG dengan harga relatif murah.
Bahkan sempat lonjakan produksi gas Amerika ini mau diimport oleh Pertamina dari Corpus Christi Texas. Karena Indonesia butuh gas/ LNG, sementara pabrik LNG yg dibangun di Masela blm juga berproduksi.
Maka selain Pertamina merencanakan import LNG dari Amerika, juga sempat berencana mau IMPORT LNG dari Mozambiq Afrika dengan Kontrak Pembelian Jangka Panjang, tapi beberapa tahun kemudian dibatalkan secara sepihak oleh Pertamina yang berujung Pertamina harus membayar kerugian denda ke seller di Mozambiq.
Ini gambaran betapa Negara yg sebenarnya sangat kaya dengan KEKAYAAN GAS yang sangat besar dioerut bumi Nusantara ini, tapi oleh karena salah kelola, faktanya malah mengalami kekurangan gas/ LNG.
Tata kelola gas /LNG yg buruk dibawah UU Migas, juga ditunjukkan oleh LNG Plants yang sedang dibangun dan juga oleh LNG plant yang sudah berproduksi.
LNG Plant di Masela di Maluku yang sedang dibangun sejak Pemerintah/ESDM/BP Migas berdasarkan UU Migas menunjuk INPEX membangun LNG Plant di Masela. Karena wewenang untuk mengembangkan cadangan gas besar, BERPINDAH dari sebelumnya berdasarkan UU PERTAMINA No.8/1971 dipegang oleh Pertamina kemudian dipindah ke Pemerintah/Kem.ESDM.
Kita tahu kemudian hingga kini sudah belasan tahun LNG Plant di Masela belum juga berproduksi karena berubah-ubahnya skenario lokasi.
Cadangan gas besar di Papua, oleh Pemerintah/Kem.ESDM ditunjuk British Petroleum untuk membangun LNG Plantnya. Kemudian produksi LNG nya dijual menggunakan Kontrak Jangka Panjang ke Fujian Tiongkok dengan Formula Harga Jual yang sangat merugikan negara karena tidak sesuai dengan teori Ekonomi Energi yang paling primitif sekalipun
Dimana Harga SDA yang bersifat non-renewable harus naik setiap tahun sesuai dengan tingkat suku bunga. Agar Pemilik SDA tidak dirugikan kapanpun asset SDA nya hendak dijual.
Dalam Formula jual ke Fujian, harga crude yg dijadikan patokan harga jual Jangka Panjang sangatlah RENDAH Formula harga jual menggunakan Model Regresi yg sangat sederhana, Y = a + bX ( Y adalah harga jual LNG ke Fujian dalam memmbantu, X adalah harga Crude yang dibatasi harus lebih kecil atau sama dengan $38/bbls).
Artinya, apabila harga crude oil diatas $38, maka harga Jual LNG ke Fujian, tetap KONSTANT tidak boleh naik dari harga ketika harga crude $38/ bls yang besarnya sekitar $5/mmbtu.
Sebagai perbandingan dengan harga jual LNG Arun dan Badak yang dijual Pertamina ke Jepang, Korea, dan Taiwan dijual dengan Formula yang win-win.
Di level harga berkisar sekitar $ 5 s/d $ 14/ mmbtu ketika harga crude naik merayap dari harga $38 hingga diatas $100/bbls. Harga jual ke Fujian tetap tidak bisa naik dari harga maksimal ketika harga crude $38 yang besarnya sekitar $5/mmbtu. Tapi setelah beberapa tahun buyer di Fujian menikmati harga super murah, untung pihak Buyer bersedia merevisi Formula Harga Jual.
Ada cadangan gas besar di wilayah ZEE Indonesia di Natuna Utara. Sudah puluhan tahun ditemukan tapi hingga kini belum juga mulai dikembangkan. Pihak yang berwenang mengembangkannya menurut UU Migas adalah Kementerian ESDM berikut lembaga BP Migas yang melanggar Konsitusi kemudian ganti nama menjadi SKK Migas).
Selama DUA DEKADE dibiarkan oleh mereka ini tidak dikembangkan. BORO-BORO untuk membangun sendiri pabrik LNG, tugas dan pekerjaan untuk sekedar mempertahankan TINGKAT PRODUKSI minyak sebesar sekitar 1.4 juta bph seperti sebelum UU Migas berlaku, hingga kini GAGAL mempertahankan tingkat produksi.
Saat ini produksi terendah dalam 50 tahun justru pada saat harga minyak dunia menembus diatas $100/ bbls yang bahkan berpotensi bisa melejit menembus ke $300/bbls apabila perang yang diawali oleh operasi militer Rusia ke Ukraina tidak segera berakhir dengan Perdamaian dan Rusia melakukan langkah penyetopan kran produksi minyaknya sebesar 5 juta bph untuk memukul balik ekonomi AS dan NATO yang juga akan berdampak ke ekonomi dinia.
Malah belakangan ini, cadangan gas besar yg terletak di wilayah ZEE Indonesia di Natuna Utara yang suda diakui oleh PBB berdasarksn Hukum Laut International (UNCLOS 1982). Kemudian dibiarkan tidak dikembangkan oleh Kementerian ESDM sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan.
Dampaknya MENIMBULKAN MASALAH BARU. Berupa KLAIM sepihak dari Tiongkok dengan dalil ” nine dash line” yang tidak ada dasar hukum Internationalnya dan tidak diakui oleh PBB.
Hingga kini Tiongkok tetap mengklaim Natuna Utara sebagai wilayahnya dan tetap tidak mengakui sebagai wilayah kedaulatan ZEE Indonesia.
Sebaiknya, Pertamina sebagau pihak yang berpengalaman dan berhasil membangun Industri LNG Nasional dengan membangun LNG Plant di Arun Aceh dan di Badak Kaltim, TANPA PAKAI DANA APBN.
Seyogyanya Pertamina ditugaskan untuk mengembangkan cadangan gas raksasa yang ada di Natuna Utara untuk menjadi LNG, LPG dan Petrokimia/ methanol secara terintegrasi, daripada pemerintah menunjuk pihak ketiga. Karena Pemerintah tidak eligible untuk melakukan sendiri kegiatan usaha penambangan SDA termasuk migas, tidak eligible untuk mengolah SDA dengan menbangun Kilang / Smelter pemurnian dan tidak eligible untuk melakukan Usaha/ Bisnis/jual beli SDA termasuk Migas.
Sehingga sebaiknya hindari mengulangi seperti ketika Cadangan gas besar di Maluku dan Papua dikembangkan menjadi LNG.
Sebab aset negara yang berupa GAS ini, meskipun TERGOLONG sebagai Energi Fossil, kedepan seterusnya AKAN TETAP DIPAKAI dan Dibutuhkan Oleh DUNIA.
Do you know WHY ? Karena Parlemen Uni Eropa sudah memutuskan bahwa GAS adalah termasuk ENERGI HIJAU, yang sama statusnya dengan Energi Bersih dari Energi Baru (seperti Nuklir) dan sama dengan Energi Terbarukan seperti Energi Surya, Angin, Hidro, biofuel dll.
Sehingga SDA yang berupa Gas kedepan harus dikelola sesuai Konstitusi Pasal 33 untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat dengan sistem pengelolaan yang efisien, tidak birokratik, investor dipermudah, perijnannya diurus oleh oerusahaan negara yang menandatangani kontrak Bagi Hasil dengan Invesror, tidak dibebani pajak dan pungutan sebelum berproduksi. Investor dijamin memperoleh kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam bentuk Cost Recovery, serta dijamin memperoleh bagian keuntungan bersih setelah memperoleh Cost Recovery, sebesar 35%. Negara sebagai pihak yg MENGUASAI SDA, nemperoleh 65% sesuai Konstitusi.
Tatanan Pengelolaan SDA Migas yang sesuai dengan Pasal 33 Konstitusi ini sudah terbukti berhasil. Investor migas berlomba-lomba datang ke Indonesia, menandatangani PSC ” to B” dengan Pertamina sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan, Produksi minyak dari 200 ribu bph hingga menembus 1.7 juta bph. Indonesia menjadi anggiota OPEC dan Indonesia menjadi Exporter LNG Terbesar di dunia. Penerimaan Devisa dan APBN didominasi oleh Migas.
Kesimpulan dan SARAN.
SDA Migas selama 20 tahun terakhir telah dikelola secara salah tidak investor friendly dengan menggunakan UU Migas No.22/2001 yang melanggar Konstitusi dan terbukti sangat merugikan Negara.
Solusi yang cepat dan effisien adalah dengan cara Presiden RI Mengeluarkan PERPPU, MENCABUT UU MIGAS NO.22/2001. Karena DPR-RI sudah dua periode gagal melahirkan UU Revisi atas UU Migas dan Kondisi Perminyakan nasional yang sudah sangat darurat dan sangat merugikan Negara.
Dengan PERPPU, mengembalikan KUASA PERTAMBANGAN ke PERTAMINA yang harus dilahirkan kembali dengan Undang-Undang.
Sehingga Sistem Tata Kelola Migas Nasional kembali Sesuai dengan Konstitusi Pasal 33, Effisien tidak berbelit-belit, INVESTOR FRIENDLY, serta MENGHAPUS KETIDAKPASTIAN HUKUM yang diderita oleh Industri migas nasionsl.
CATATAN
Jauh sebelum Mahkamah Konstitusi mencabut 17 pasal UU Migas No.22/2001. Pada tahun 2002 saya sudah sarankan agar UU Migas No.22/2001 ini DICABUT selagi masih DINI, masih pada tahap awal dalam menerapkan UU Migas No. 22/2001. Agar UU yang salah ini tidak sampai merusak Tatanan Pengelolaan Migas yang sudah benar sesuai Konstitusi, kemudian akan berubah menjadi Sistem Pengelolaan Migas yang akan sangat merugikan Rakyat, Bangsa dan kemudian akan berubah menjadi Sistem Pengelolaan Migas yg akan sangat merugikan Rakyat, Bangsa dan Negara. Apa yang saya prediksi akan terjadi. Itulah yang terjadi saat ini.
Houston, 6 Juli 2022.
* Penulis, Dr Kurtubi, Anggota DPRRI Fraksi Nasdem 2014 – 2019. Alumnus Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole dan Universitas Indonesia
** Huruf besar dari penulis untuk menekankan makna