Tidak banyak aktivis perempuan yang menyoroti nasib perempuan dan anak di Afganistan pasca kemenangan Taliban terakhir. Maria Pakpahan seorang aktifis perempuan Indonesia menyorotinya dari Skotlandia untuk pembaca Bergelora.com. Ini tulisan bagian pertamanya dan bagian keduanya dan bagian ketiganya (Redaksi)
Oleh: Maria Pakpahan
MELIHAT Afganistan saat ini di bulan September 2021, setelah sebulan lebih Taliban mengambil ahli. Saya masih terkesima saat Rapat ke 76 Majelis Umum PBB minggu lalu dan bagaimana Presiden Biden berpidato dengan lantang mengingatkan peserta pertemuan penting ini, para pimpinan-perwakilan berbagai negara di muka bumi, untuk menjaga martabat manusia, human dignity,- kata yang dipakai oleh Presiden Biden dan bagaimana Amerika Serikat akan mendukung mereka yang menyuarakan hal ini.
Bagaimana dengan dignity, martabat perempuan Afganistan yang menurut kaum Taliban boleh bekerja di tempat umum sebagai cleaner saja? Astaga naga, apakah Presiden Amerika Serikat lupa bagaimana dunia di abad 21 ini saling terkontak. Kejadian meletusnya gunung berapi di Palma, kepulauan Canary misalnya bisa diketahui saat situasi ini masih terjadi di berbagai pelosok dunia. Juga demikian adanya, dengan hukuman gantung yang sudah terjadi dan dilakukan kaum Taliban.
Jadi jika Amerika Serikat menyuarakan human dignity apakah tidak seperti pepatah bertepuk di dulang terpercik muka sendiri. Tentu saja ada yang perlu diapresiasi dari pidato Presiden Biden hari itu, misalnya bagaimana ia bicara soal Climate Change dan pertemuan COP26 yang akan terjadi di Glasgow, Scotlandia November mendatang ini. Juga bagaimana Amerika Serikat berkomitment 10 billion US$ untuk mengatasi masalah pangan, menghadapi kelaparan. Semoga saja komitmen ini akan terealisasi bukan sekedar narasi.
Demikian juga dengan rejim Taliban yang di’promosikan lewat Doha path oleh pemimpin Qatar Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani dan meminta dunia tidak meninggalkan rakyat meninggalkan rakyat Afganistan. Agar bisa bersikap membedakan antara bantuan kemanusiaan dan perbedaan politik. Terus berdialog dengan Taliban dan memboycott Taliban hanya akan berakhir pada polarisasi dan reaksi
Tidak dibahasnya bagaimana dengan Doha Path yang tidak inclusive dan janganlah heran saat pemerinathan Afganistan terbentuk, tidak ada perwakilan sosok perempuan dalam kabinet pemerintahan Taliban saat ini. Tidak jelas juga apakah akan ada Pemilu dilakukan oleh kaum berkuasa Taliban? Bagaimana mungkin meminta dunia menolong untuk sesuatu yang jelas bermasalah pada design awal, pada raison d’etre Emirate Afganistan ? Mengapa saya sebut bermasalah, ya jelas sekali karena lebih dari setengah populasi Afganistan,–kaum perempuannya termarginalisasi dan invisible, di kota Kabul, walikotanya sudah membuat keputusan bahwa perempuan tidak lagi bekerja seperti biasanya, sebelum Taliban mengambil alih. Kini perempuan, hanya dianggap pantas jadi pembersih toilet. iIipun hanya toilet perempuan semata. Mungkin saking dianggapnya perempuan bisa menggoncang iman maka jika ada laki-laki yang berjumpa perempuan saat sedang membersihkan toilet laki-laki, menjadi aibkah? Berdosakah?
Mengenai cara melihat perempuan sebagai godaan, setan, pengaruh buruk bukanlah hal yang baru dan bukan semata khas Taliban. Bahkan filsuf Aristoteles percaya bahwa perempuan lebih dingin dari kaum laki-laki dan karenanya dinilai lebih rendah. Juga para church fathers misalnya St. Jerome misalnya melihat perempuan sebagai akar dari setan atau persoalan atau masalah (Vivian, Philip. 1911. The Churches and Modern Thought: p284)
Jadi bukan hanya satu agama saja yang merendahkan perempuan dan menyalahkan perempuan. Coba tilik agama-agama besar, agama Samawi yang tidak ramah dan problematik sikapnya terhadap perempuan. Kita bersyukur di Indonesia kita memiliki berbagai perangkat insitusi negara mulai dari Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan hingga berbagai organisasi civil society dan keagamaan yang memperjuangkan nilai kesetaraan dan keadilan, anti kekerasan terhadap perempuan dan juga anak tentunya. Indonesia sebagai negara yang meratifikasi CEDAW dan Konvensi Hak-Hak Anak bisa dibilang cukup maju dalam hal ini. Walaupun implementasinya tentu soal lain dan perlunya terus dimonitor apakah diatas kertas sesuai dengan realitas harian. Fakta bahwa tidak adanya peraturan dan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang kebanyakan perempuan misalnya contoh yang jelas bagaimana masih timpangnya perjuangan perempuan, dan sebaiknya jangan dikacaukan seakan memperjuangkan hak-hak PRT menjadi pemisah antara mereka yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Intersectionality justru bisa menjadi lensa yang membantu para aktivis dan human rights defender memahami hal ini. Contoh lain yang juga masih kerap terjadi dan menjadi soal serius, pernikahan anak-anak perempuan. Jarang ada pernikahan dini anak laki-laki bukan ? ( Bersambung)