Oleh : Aristides Katoppo*
Paparan ini disampaikan penulis dalam Focus Group Discuccion “Memperkuat Industri Pertahanan Dirgantara dan Pengadaan Alutsista TNI” yang diadakan oleh kerjasama antara NASPCI (National Air and Space Power Center of Indonesia) dan Bergelora.com di Jakarta, Jumat, 20 Januari 2017. (Redaksi)
Presiden (terpilih yang Jumat (20/1) ini dilantik) Donald Trump sifatnya tidak enggan dan ragu memicu kontroversi. Beberapa hari sebelum dilantik, Trump mengatakan bahwa dia tidak terikat kepada “One China Policy”.
Kepada Wall Street Journal, dia mengatakan, menolak untuk menerima bahwa Taiwan seyogianya tidak diakui secara diplomatik, sampai dengan menurut pendapatnya China bersikap adil (fair) dalam hal perilaku perdagangan dan mata uang yuan.
Selama ini, berkali-kali semenjak kampanye, Trump mengulang-ulang hal yang sama. Bahkan ketika ditanya apakah dia tetap mendukung politik AS mengenai Taiwan. Dia menjawab: Segala sesuatu dapat dirundingkan termasuk “One China Policy”.
Pernyataan Trump yang seolah-olah begitu spontan tentu memancing tanggapan keras dari Beijing yang juga sangat tersinggung terhadap telepon Trump dengan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen.
Apalagi beberapa hari belakangan ini, calon Menteri Luar Negeri AS pilihan Trump, dalam uji pendapat di Kongres (Mr. Rex Tillerson, mantan CEO Exxon Mobil), mengatakan AS perlu mengambil langkah-langkah besar, yang lebih keras dan tegas, untuk mencegah China menduduki pulau-pulau di Laut China Selatan.
Banyak spekulasi, komentar dan interpretasi menggoncangkan suasana yang makin tegang karena tentu Beijing memberikan reaksi keras. Timbul pertanyaan seberapa jauh “tembak-menembak kata” ini bisa memicu konflik militer bersenjata? Sungguh malapetaka, jika itu terjadi.
Pada saat sekarang imbangan kekuatan militer baik di Pasifik dan di dunia masih mengunggulkan AS. Walaupun 10 tahun belakangan ini mulai terjadi pergeseran kekuatan khususnya di Laut China Selatan dan Laut China Timur, dimana lambat laun China memperkuat diri, hingga keunggulan di kawasan timur China tidak lagi seunggul seperti misalnya pada waktu zaman Presiden Clinton cukup menambah satu Aircraft Carrier untuk melintasi Selat Formosa untuk pamer kekuatan.
Sekarang China selama 20 tahun terakhir membangun kekuatan militer khususnya jumlah rudal dan pesawat tempur maupun kapal selam untuk berupaya melaksanakan strategi area access denial.
Payung pertahanan RRC sekarang diperkirakan sudah cukup pekat dan makin padat. Sehingga sebagian ahli-ahli strategi AS, termasuk beberapa mantan Laksamana mempertanyakan keampuhan payung pelindung kapal induk AS untuk melintasi lepas pantai China Utara dan Selatan.
Menurut perkiraan dari segi kapal selam AS masih unggul. Begitu juga kecanggihan mengoperasikan perisai udara terhadap serangan udara yang konvensional. Yang menjadi tanda tanya adalah daya tangkal terhadap rudal-rudal sepanjang pantai Laut China Selatan dan Utara.
Tetapi kini yang menjadi tanda tanya terbesar adalah perangai dan perilaku Trump sendiri. Selama ini ia menang pemilihan di AS dengan menjungkirbalikkan pelbagai konvensi-konvensi politik. Ucapan dan perilakunya sangat provokatif dan juga tidak konsisten. Sehingga sulit diperhitungkan, suatu ketidakpastian yang mungkin dimaksudkan untuk memperdaya lawan, tapi juga membuat pusing kepala para sekutunya di Eropa, Inggris, Jepang, Australia dan lain-lain. Termasuk di kalangan AS sendiri. Ia mengatakan “Saya tidak menolak Free Trade tetapi saya kehendaki Fair Trade”. Yang mencemaskan adalah sikapnya bahwa yang dianggap fair (adil), jelas-jelas menguntungkan dirinya sendiri atau pihaknya menurut tata nilai dan seleranya sendiri. Ia ibarat seorang pedagang yang ukuran utamanya adalah keuntungan sesaat, bukan kelanggengan. “Amerika first” pertanda egois dan egosentris.
Nah, sekarang ia mewarisi seluruh arsenal militer dari satu-satunya Negara Adidaya dan memperlihatkan perangainya yang ingin mengubah bahwa bukan “right is might” tapi “might is right”. Apalagi kalau dia yang memiliki “might” itu selaku pengendali utama (Commander in Chief).
Mantan Presiden Amerika Jenderal Eisenhower pernah memperingatkan bangsanya agar waspada dan hati-hati terhadap yang disebut military industrial security complex. Peringatannya adalah bahwa dinamika sektoral itu bisa menyandera proses politik AS dan rela mengorbankan cita-cita demokrasi.
Kecenderungan Trump untuk bersikap unilateral bisa bergandengan tangan dengan kaum MISComplex, yang dalam sejarah menghendaki perang setiap delapan tahun untuk cuci gudang.
Alangkah celaka jika ini terjadi. Sebenarnya secara strategic, baik AS maupun China memerlukan kawasan damai dan sejahtera di Laut China Selatan. Karena sebagian besar lalu-lintas perdagangan dunia berlalu-lalang di situ. Satu dan lain mitra dagang utama.
Sejarah menunjukkan, malapetaka perang seringkali meletus oleh percikan-percikan kecil, akibat benturan yang seringkali tidak disengaja. Di film Wild West para koboi saking gembiranya unjuk keperkasaannya terlibat dalam tembak-menembak.
Presiden China Xi Jinping sekarang ini lebih berkuasa dari Mao Tse Tung. Sejak Deng Xiao Ping modernisasi Angkatan Perang China konsisten dan pesat dibangun untuk menghalau hegemoni militer AS khususnya di Pasifik Barat, termasuk Laut China Selatan.
Sementara itu, ada pertanda-pertanda bahwa di antara pimpinannya, ada juga yang bersifat dan bersikap koboi dan berani menantang. Misalnya, insiden pesawat Mig China yang menabrak pesawat pengintai AS pada awal pemerintahan George Bush. Pada waktu itu, Presiden Bush mengandalkan nasehat Jenderal Colin Powell yang cool dan mencegah konflagrasi dan meredam konflik yang lebih meluas.
Selama ini, Presiden Trump agaknya tidak mempercayai atau menyegani aparat intel AS yang ada dan bahkan mencemoohkannya. Dunia sekarang diliput ketidakpastian dimana banyak hal uncertain dan unpredictable. Selain itu, segala sesuatu berubah tidak menentu dengan cepat, ditambah semuanya makin kompleks dan pelik. Juga rambu-rambu makin remang-remang dan goyah. dan nilai-nilai pun luntur dan maya. Hanya satu hal yang pasti bahwa perubahan akan terjadi terus-menerus, cepat silih berganti, tidak menentu arahnya.
Dalam kondisi seperti itu, para pendiri bangsa kita sudah membekali kita dengan politik bebas aktif dan amanat mengupayakan suatu dunia yang adil, makmur dan damai sejahtera.
Kalaupun badai berkecamuk di Laut China Selatan biarlah atau beranikah Indonesia konsisten memimpin perjuangan terciptanya kawasan yang damai sejahtera di Asia Tenggara atau ASEAN. Dan untuk itu, saya kira, Bangsa kita sudah dibekali dengan nilai-nilai yang cukup jelas diserukan dalam UUD 1945. Dimana diplomasi bisa jadi sarana yang sama ampuh atau mungkin lebih efektif dari pertarungan senjata.
Seandainya krisis pun terjadi, Indonesia harus menjadi tumpuan harapan, misalnya dengan lebih konsisten, gigih dan gencar memperjuangkan code of conduct yang sebenarnya sudah disepakati tetapi belum dilaksanakan dan diterapkan.
*Penulis seorang wartawan Sinar Harapan