[dropcap type=”square” color=”blue” background=”white” ]P[/dropcap]emilu legislatif kali ini semakin mencerminkan demokrasi liberal yang sesungguhnya. Kompetisi politik adalah bentuknya,– dan uang adalah substansinya. Sudah pasti hanya yang bermodal besar yang bisa memenangkan kursi dan duduk di parlemen.
Kapling kekuasaan dibagi sesuai kekuatan modal. Politisi yang berlatar belakang pengusaha dan pejabat tingkat propinsi dan nasional masuk di DPR dan DPD pusat. Sedangkan politisi dengan latar belakang pengusaha dan pejabat kota, kabupaten dan lebih rendah lagi menguasai DPRD Propinsi dan Kabupaten/kota. Politisi partai dan kaum aktivis juga demikian. Kecil kemungkinan mereka bisa mendapatkan kursi parlemen tanpa didukung pemodal dibelakangnya.
Kecurangan sudah menjadi maklum dilakukan untuk bisa merebut kursi. Bahkan sistim dibuat sedemikian rupa untuk memudahkan terjadinya kecurangan. Sejak masa kampanye para calon legislatif dan partainya tertangkap berbagai media massa sedang membagi-bagi uang secara terbuka. Struktur aparat pemerintah juga efektif untuk mobilisasi suara. Camat dan kepalada kepala desa dikerahkan untuk mobilsasi dukungan. Masa tenang adalah saat baik untuk negosiasi.
“Serangan fajar” menjelang dini hari pencoblosan dilakukan oleh hampir semua calon legislatif Kasus jual beli suara dilakukan secara terbuka pada saat penghitungan suara. Cara curang yang lain adalah membayar panitia pemilu untuk melubangi surat suara sebelum waktu pencoblosan. Sewaktu penghitungan suara bursa jual beli suara melonjak tinggi bekerjasama dengan panitia pemilu setempat. Tidak lupa pencurian suara membabi buta antar partai bahkan antar sesama anggota partai.
Dalam catatan Polri kasus pidana pemilu sebelum masa kampanye hingga pencoblosan Pileg 9 April 2014 yang ditangani ada 183 kasus. Dari kasus tersebut, 226 orang dijadikan tersangka.
“Kasus-kasus itu terjadi hampir di semua wilayah tanah air,” Kabag Penum Polri Kombes Agus Rianto di kantornya, Jakarta, Senin (21/4) lalu.
Adapun jenis kasus yang ditangani penyidik beragam. Mulai dari 6 kasus pemalsuan dokumen, 48 politik uang, kampanye menggunakan fasilitas negara 7 kasus dan lain-lain ada 39 kasus.
Para tersangka terdiri dari 15 Pegawai Negeri Sipil (PNS), 13 pengurus partai, 10 kepala desa, 26 Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Ada pula 61 orang tim sukses, simpatisan 25 orang. Kemudian sebanyak 42 calon legislatif.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Malik dalam rapat pleno KPU Sabtu (26/4) mengakui banyak pelanggaran-pelanggaran dalam pemilihan calon anggota legislatif (Pileg) 2014. Ia berencana mengadakan koreksi-koreksi atas penyelenggaraan tersebut.
Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie sebelumnya menyebut maraknya terjadi kecurangan di berbagai daerah karena Undang-Undang penyelenggaraan Pemilu sekarang yang dianggap bukan mempermudah tapi malah semakin ribet.
Penyelenggaraan Pemilu kali ini menurutnya terkendala di sistem suara terbanyak dan rekapitulasi perhitungannya yang lebih lamban. Sekarang perhitungannya dari TPS, ke desa ke PPS, PPK terus ke Kecamatan baru ke Kabupaten. Lamanya tahapan perhitungan rekapitulasi suara itu menimbulkan berbagai kecurangan.
Kalau benar kecurangan dalam Pemilu legislatif kali adalah konsekuensi dari kesalahan dalam Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu, maka ini adalah cerminan dari keinginan DPR dan Pemerintah yang mengesahkannya.
Kalau dulu sewaktu membuat Undang-undang tersebut, kepentingan modal bisa bersembunyi dibawah bayang-bayang perkantoran legislatif dan eksekutif Kepresidenan, namun pada saat pelaksanaan, kekuatan modal termanifestasi dalam kompetisi caleg merebut kursi legislatif.
Inilah demokrasi kita yang diagung-agungkan oleh sebagian besar politisi elit, intelektual dan akademisi dan aktifis pro-demokrasi yang berharapkan pekerjaan di DPR dan peluang bisnis lewat politik.
Atas nama reformasi maka demokrasi seperti ini menjadi sah,— setelah 16 tahun lalu sukses menyelewengkan gerakan rakyat anti kediktaktoran Orde Baru.