JAKARTA- Terlepas dari masih ada berbagai persoalan, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang baru saja berakhir patut diapresiasi. Memang, keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk menghilangkan fungsi UN sebagai syarat kelulusan dan mengembalikan sekolah sebagai penentu kelulusan disambut positif banyak pihak. Terobosan baru ini diharapkan menjadi momentum peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Namun, UN tidak serta merta dapat dijadikan dasar untuk memetakan kualitas pendidikan Indonesia.
Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris menyambut positif terobosan yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini. Karena memang pada dasarnya pendidikan itu haruslah sesuatu yang menyenangkan bukan menakutkan.
“Namun jika UN kali ini juga ditujukan untuk menilai kualitas pendidikan kita, hemat saya tidak begitu tepat karena mamang variabelnya tidak lengkap,” kata Fahira di Gedung MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta, Kamis (16/04).
Senator Asal Jakarta ini mengatakan, tidak salah pemerintah menjadikan UN untuk memetakan kualitas sekolah (termasuk guru) dan siswa, tetapi hanya sebagai salah satu variabel. Ujian Nasional, lanjut Fahira, bisa dijadikan pemetaan untuk mengetahui kualitas individual siswa, terutama untuk pelajaran-pelajaran yang di uji di UN, bukan kualitas siswa secara keseluruhan.
“Kalau untuk siswa oke, tetapi jika untuk menilai kualitas sekolah dan guru, saya rasa tidak bisa diambil dari UN yang memang tujuan untuk mengukur kompetensi siswa. Kualitas sekolah dan guru sangat terkait dengan sejauh mana kebijakan pendidikan bisa mengintegrasikan proses pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Jadi kita juga harus bicara variabel sistem akreditasi, supervisi, dan kebijakan pengembangan profesional guru,” jelas Fahira.
Menurut Fahira, peningkatan kualitas guru masih menjadi titik krusial peningkatan kualitas pendidikan Indonesia dan ini merupakan tanggung jawab penuh pemerintah lewat berbagai program pengembangan profesionalisme guru dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan agar semakin bermutu.
“Kualitas pendidikan juga sangat ditentukan sejauh mana kreatifitas guru dalam proses belajar mengajar. Untuk memancing kreativitas itu, guru bisa dipandu melalui pedoman yang disiapkan oleh Kemdikbud. Pedoman tersebut berisi berbagai pengayaan berbagai macam metode belajar termasuk metode evaluasi dan penilaian,” jelas Fahira.
Menurut Fahira, selama ini, dijadikannya UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan memang menjadi sumber segala masalah mulai dari kecurangan massal, kebocoran soal, sampai ada guru yang masuk penjara hingga siswa yang bunuh diri. Sebelumnya, tambah Fahira, menjelang UN terjadi kepanikan nasional. Orang tua, siswa, pihak sekolah stres karena menunggu hari pengadilan. Berbagai cara pun dilakukan untuk lolos dari pengadilan ini, akibatnya selama UN, polisi pun diturunkan untuk mengawasi. Lengkaplah UN menjadi momok.
“Sekolah dan ujian itu harusnya menyenangkan karena memang itu esensi dari pendidikan. Kebijakan UN tahun ini patut kita apresiasi,” ungkap Fahira.
UN CBT
Terobosan baru pelaksanaan UN tahun ini adalah ujian berbasis komputer atau UN CBT (computer base test). Untuk tahun ini, Kemendikbud mencatat 585 dari 70 ribu sekolah yang melaksanakan UN menggunakan komputer dalam pelaksanaannya. Sementara di Papua, baru satu sekolah yaitu SMA Negeri 3 Jayapura yang menggunakan sistem UN CBT. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah bertaraf internasional yang menerapkan sistem boarding school yang dibiayai oleh Pemerintah Kota Jayapura.
“Dari jumlah siswa sebanyak 445, sebanyak 110 yang mengikuti UN CBT dengan enam rombongan belajar yang dilaksanakan dengan dua shift sampai jam empat sore,” ujar Fahira yang selama pelaksanaan UN melakukan pemantauan di Jayapura, Papua.
Fahira mengatakan, sebelum UN digelar, para siswa di sekolah ini telah melakukan beberapa kali try out sehingga saat UN mereka tidak menemui kesulitan dapat mengerjakan UN CBT dengan baik dan benar. Namun, kata Fahira, masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan ke depan.
“Infrastruktur mulai dari komputer, jaringan internet dan bandwidth masih terbatas. Untuk pengadaan jaringan internet, sekolah mengeluarkan biaya swadaya dari orang tua siswa,”ujar Fahira.
Menurut Fahira, di masa mendatang, jika semua infrastruktur pendukung sudah mantap, UN CBT adalah pilihan paling ideal pelaksanaan UN di seluruh Indonesia. Karena, pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer lebih menghemat waktu, karena siswa tidak perlu menandai atau menghitamkan lembar jawaban. Selain itu, dipastikan, UN CBT akan sangat menghemat biaya penyelenggaraan UN.
“Bayangkan berapa banyak uang negara yang bisa dihemat jika UN CBT bisa direalisasikan di seluruh sekolah. Kita tidak perlu lagi mencetak soal ujian dan tidak perlu menghabiskan anggaran untuk mendistribusikan ke seluruh sekolah di Indonesia yang begitu luas ini. Kebocaran soal juga dipastikan akan sulit terjadi,” jelas Fahira. (Calvin G. Eben-Haezer)