JAKARTA- Bocornya dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dipublik seharusnya semakin memperkuat dasar bagi Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnasham) untuk memanggil Mayjen (Purn) Kivlan Zein untuk dimintai keterangannya atas 13 orang aktivis Pro Demokrasi yang diculik dan masih hilang saat menjelang reformasi 1998 sampai saat ini. Hal ini disampaikan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (12/6).
“Itu petunjuk. Antara dokumen DKP dan keterangan Kivlan Zein pasti ada benang merahnya,” ujarnya.
Menurutnya, Komnasham punya kewajiban untuk segera memanggil Kivlan Zein karena isi dokumen DKP ada kecocokan dengan pernyataan Kivlan Zein beberapa waktu lalu yang mengatakan dirinya tahu siapa yang membunuh 13 aktivis tersebut.
“Kabarnya Komnasham sudah panggil Kivlan 3 kali. Jika dia tidak datang lagi, Komnasham bisa panggil paksa Kivlan lewat pengadilan,” ujarnya.
Hendardi meminta agar Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang juga pernah menjadi salah satu anggota (DKP) harus bersikap jelas.
“SBY hanya menyesalkan beredarnya Keppres pemberhentian Prabowo Subianto. Sedangkan terhadap isi dokumen DKP, SBY tidak berkomentar sama sekali. Padahal SBY harus segera memberikan penjelasan untuk menjernihkan situasi,” ujarnya.
Menurutnya, produk akhir yang berbeda dari rangkaian pemeriksaan terhadap Prabowo Subianto pada dua dokumen itulah yang justru harus diperjelas SBY.
Jika tetap diam, SBY sesungguhnya sedang berpolitik dengan beredarnya surat tersebut, yang tentu saja untuk masa depan politik SBY dan Partai Demokrat (PD).
“SBY juga harus segera memerintahkan Panglima TNI untuk memberikan klarifikasi atas kebenaran dokumen DKP,” tegasnya.
Beberapa waktu lalu Kivlan Zein mengatakan tahu siapa yang menculik dan membunuh 13 aktivis yang hilang. Ia juga mengatakan tahu tempat pembunuhan itu dilakukan.
Kelompok Radikal
Sementara itu di dalam dokumen DKP bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP itu, ada nama-nama korban penculikan oleh Satgas Mawar dan Satgas Merpati Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dibawah perintah Prabowo Subianto. Korban penculikan yang disebut sebagai aktivis kelompok radikal Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah Andi Arief, Aan Rusdianto, Mugianto, Nezar Patria, Haryanto Taslam, Raharjo Waluyo Jati, Faisol Reza, Pius Lustrilanang dan Desmon J. Mahesa. Semuanya sudah pulang semua dan Prabowo Subianto beserta beberapa anggota Kopassus sudah dihukum atas perbuatannya.
Sedangkan beberapa nama aktivis dan orang yang masih hilang tidak tercantum di dalam dokumen dengan kop surat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Markas Besar, Dewan Kehormatan Perwira tersebut. Mereka adalah WJ Thukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Suyat, Deddy Hamdun, Yani Afri, Sonny, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Mundandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidindan Abdun Nasser
Di dalam dokumen tersebut juga tercantum nama tujuh jenderal anggota DKP lengkap dengan tanda tangannya yaitu Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo sebagai Ketua, Letjen Fachrul Razi sebagai Wakil Ketua, Letjen Djamari Chaniago sebagai Sekretaris, Letjen SB Yudhoyono sebagai Anggota, Letjen Yusuf Kartanegara sebagai Anggota, Letjen Agum Gumelar sebagai Anggota, Letjen Arie J. Kumaat sebagai Anggota.
Dokumen DKP itu belakangan menimbulkan pertanyaan penting apakah penculikan WJ Thukul dan 12 orang lainnya di luar tanggung jawab Prabowo Subianto? Siapa yang menculik dan harus bertanggung jawab? Dimana dibunuhnya? Mengapa Prabowo Subianto dan 7 orang Jenderal di dalam DKP serta Panglima TNI waktu itu, Jenderal Wiranto yang membentuk DKP tetap bungkam?
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR-RI, Evita Nursanty mempersilahkan publik menilai sendiri bagaimana Prabowo sesuai rekomendasi DKP itu. “Kami juga bertanya-tanya kenapa bisa bocor padahal berklasifikasi rahasia,” ujarnya.
Menurutnya tidak tepat mengukur kinerja TNI dari satu kasus penculikan saja. Tugas TNI menurutnya teramat berat dan banyak dan seharusnya mendapatkan dukungan semua pihak. “Negara ini membutuhkan TNI yang kuat. Percayakan urusan ini kepada TNI,”. (Web Warouw)