JAKARTA- Tidak dijalankannya proses sosialisasi dan musyawarah mengenai rencana pembangunan bandara di Kertajati oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Majalengka dan pihak PT. BIJB (Bandara Internasional Jawa Barat) kepada warga Sukamulya jelas telah melanggar prosedur dan tahapan yang diatur dalam Undang-Undang No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Hal ini disampaikan Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (22/11)
“Peristiwa 17 November merupakan penistaan terhadap kemanusiaan, menunjukkan bahwa Gubernur dan Kapolda Jabar telah gelap-mata demi mensukseskan proyek BIJB. Secara sewenang-wenang telah terjadi pelenyapan desa-desa yang menjadi obyek penetapan lokasi bandara,” jelas Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Dewi Kartika.
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) membeberkan penggusuran atas nama pembangunan demi kepentingan umum terus dilakukan dengan pendekatan represif. Sejak Kamis (17/11) Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat dalam kondisi mencekam. Desa ini menjadi benteng penolakan terakhir, setelah 10 desa lainnya mengalami penggusuran untuk pembangunan Bandara Kertajati, atau kini dikenal proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).
Meski BIJB ditetapkan sebagai proyek strategis nasional, Presiden dan jajarannya haruslah selaras dan konsisten dengan janji politiknya serta agenda prioritas nasional untuk menjalankan Reforma Agraria, yakni melindungi dan memperkuat hak-hak petani melalui redistribusi 9 (sembilan) juta hektar tanah serta menyelesaikan konflik agraria secara berkeadilan.
“Peristiwa Sukamulya merupakan salah satu contoh buruk proses pembangunan infrastruktur dan ketidak berpihakan Negara terhadap petani di Indonesia sekaligus cermin kemunduran demokrasi,” jelasnya.
Nurhidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan bahwa penggusuran pemukiman dan wilayah pertanian rakyat di 11 desa di Majalengka akan menambah panjang daftar alihfungsi lahan pertanian dan wilayah kelola rakyat di Indonesia. Ini tentu bertolak belakang dengan visi Presiden Jokowi dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.
“Pemerintah harusnya mencukupkan lahan bagi petani bukan malah menggusur dan mengalihfungsi lahan pertanian, ini tentu juga tidak sejalan dengan agenda reforma Agraria yang dicanangkan Presiden,” ujarnya.
Agus Ruli Ardiyansah, Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menegaskan bahwa, penangkapan, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani di berbagai daerah di Indonesia telah melanggar Hak asasi petani.
“Presiden harus berhenti menggunakan cara cara kekerasan terhadap petani dan segera memerintahkan Kapolri agar menarik mundur pasukannya dalam proses penggusuran di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat – Sumatera Utara,” ujarnya.
Puspa Dewy, Ketua Solidaritas Perempuan (SP), menyatakan bahwa penggusuran atas nama kepentingan umum, harus memastikan informasi, konsultasi dan persetujuan dari masyarakat terdampak, baik perempuan maupun laki-laki.
“Perampasan tanah dan konflik agraria menimbulkan dampak berlapis dan semakin memiskinkan perempuan. Hilangnya sumber kehidupan keluarga, meningkatkan beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan bagi keluarga. Perempuan terpaksa berutang atau bekerja serabutan dengan berdagang ataupun menjadi buruh murah. Sedangkan, kriminalisasi dan kekerasan yang kerap terjadi di dalam konflik agraria, menimbulkan dampak yang berbeda dan trauma tersendiri bagi perempuan, Ditambah lagi mereka harus memulihkan trauma yang dialami anak-anak mereka,” ujarnya.
Di waktu yang hampir bersamaan (18/11), aparat keamanan yang terdiri dari POLSEK, POLRES LANGKAT, BRIMOB POLDA, TNI, PAMSWAKARSA berjumlah lebih kurang 1.500 orang memaksa masuk ke Desa Mekarjaya Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang berkonflik dengan Langkat Nusantara Kepong (LNK) yang mengelola lahan PTPN II.
Sebanyak 24 alat berat disiapkan untuk menghancurkan rumah dan juga tanaman yang ada di lahan milik petani Desa Mekar Jaya. Hingga saat ini, Desa Mekarjaya di isolasi aparat. Penangkapan terhadap petani Mekarjaya yang melakukan perlawanan terhadap upaya perampasan tanah yang menjadi sumber kehidupannya, masih berlangsung dan jumlahnya sedang di identifikasi.
Bandara Internasional
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), awalnya merupakan salah satu proyek nasional MP3EI era Presiden SBY-JK, dan kini dikukuhkan menjadi proyek strategis nasional di pemerintahan Jokowi-JK melalui Perpres no 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Berdasarkan keputusan sepihak di atas kertas, pemerintah dari level terendah hingga pusat menyetujui pembangunan BIJB yang mulai mencuat sejak tahun 2004 silam.
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) yang sebenarnya hanya membutuhkan lahan seluas 1.800 ha, ternyata harus ditopang oleh kegiatan bisnis melalui pengembangan Kertajati Aerocity yang membutuhkan lahan seluas 3.200 ha, sehingga totalnya akan menggusur 5000 ha lahan di 11 desa, yang mayoritasnya adalah lahan pertanian produktif. Padahal saat ini di Jawa Barat sudah terbangun enam Bandara yang fungsinya bisa di optimalkan, sehingga urgensi pembangunan BIJB patut dipertanyakan.
Dari 11 desa yang yang terkena dampak penggusuran yang telah ditetapkan melalui SK Menteri Perhubungan No. 34/2005 yang diperbarui melalui KP 457 tahun 2012, sebanyak 10 desa telah diratakan tanpa proses memadai dan informasi yang jelas bagi masyarakat. Desa Sukamulya merupakan satu satunya desa yang masih memilih bertahan mempertahankan tanah dan kampungnya. Rencana pengukuran hari ini telah mengancam 1.478 KK dengan luas lahan lebih dari 500 ha di desa Sukamulya tergusur demi Proyek Pembuatan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati.
Ironi alih fungsi lahan: Dalam UU No.19 tahun 2013, tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, pasal 103 menyebutkan bahwa Petani yang mengalihfungsikan lahan Pertanian menjadi lahan non Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Namun dalam kasus penggusuran di Desa Sukamulya dan banyak kasus lainnya, justru pemerintah yang melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
Data KPA menyebutkan bahwa dalam dua tahun terakhir (2014-2015) telah terjadi serangkaian kekerasan dalam konflik agraria; 534 orang ditahan, 234 dianiaya, 56 tertembak dan 24 orang gugur dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.
Sementara data SPI menyebutkan bahwa selain peristiwa di Desa Sukamulya, selama tahun 2016 hingga November, telah terjadi tujuh konflik agraria, upaya penggusuran wilayah pertanian rakyat yang disertai tindak kekerasan dan kriminalisasi atas 8306,66 Ha lahan. Tujuh peristiwa tersebut terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai Sumut, Tebo Jambi, Muaro Jambi, Lebak Banten, Sukabumi Jabar, Kendal Jateng dan yang teranyar terjadi Langkat Sumut pada 18-19 November 2016. dari tujuh peristiwa ini tercatat 13 orang mengalami tindak kekerasan, 11 orang mengalami penangkapan, dan 8 orang mengalami kriminalisasi. (Max K. Lasut)