JAKARTA – Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Zulficar Mochtar menyebutkan, penurunan produksi tuna pada tahun 2016 merupakan hal yang wajar. Menurutnya, penurunan terjadi karena penyesuaian perubahan penggunaan beberapa jenis alat tangkap di perairan Indonesia. Termasuk pelarangan kapal asing yang melakukan transshipment dan mendarat di wilayah Republik Indonesia.
“Kita kan sedang melakukan penyesuaian alat tangkap perikanan yang berkelanjutan. Di Samudera Hindia khususnya perubahan dari Long Line skala besar. Adapun di Samudera Pasifik penurunan terjadi karena perubahan alat tangkap Purse Seine skala besar. Misalnya di WPP 716 dan 717 tahun 2014 pengguna purse seine Tuna (menangkap ikan) sekitar 43.374 ton, menjadi 34.604 pada tahun 2015. Kalau dirata-ratakan tahun 2005-2016 adalah 22.703 ton,” ujar Zulficar, di Jakarta, Minggu (19/2).
Menurut Zulficar, prinsip pengelolaan kelautan dan perikanan berkelanjutan perlu segera digalakkan di Indonesia.
“Berbagai referensi sudah menunjukkan bahwa sekitar 85% potensi perikanan dunia sudah overfishing dan fully exploited. Mengingat kebutuhan dan kompetisi mendapatkan ikan semakin meningkat, maka prinsip tata kelola perikanan yang berkelanjutan harus dijalankan. Tidak bisa ditawar lagi, atau masa depan tergadai,” tuturnya.
Zulficar memaparkan, sejak tahun 2005-2015 nelayan Indonesia mendapatkan tuna rata-rata sekitar 571,479 ton per tahun, dengan estimasi pasar ekspor sekitar USD500 juta per tahun. Tahun 2014 jumlah total tangkapan tuna sekitar 810.535 ton dan tahun 2015 sekitar 665.275 ton. Adapun jenisnya yaitu Albakora, Big Eye, Skipjack, Southern Bluefin, dan Madidihang.
Meskipun secara umum terjadi penurunan jumlah tangkapan, Zulficar menyebut terjadi peningkatan hasil tangkapan nelayan kecil yang menggunakan alat tangkap Hand Line. Tangkapan Hand Line tahun 2014 sebesar 15.634 ton melonjak 100% menjadi 33.411 ton pada 2015. Menurutnya, nelayan dalam negeri dan nelayan kecil sudah menggantikan peran kapal-kapal asing yang biasanya berkuasa di lautan Indonesia.
Hal ini sesuai dengan kalkulasi independen hasil studi kerjasama University California Santa Barbara (UCSB) dan Balitbang KKP. Kalkulasi tersebut dibandingkan dengan data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan menunjukkan bahwa segera setelah moratorium, jumlah kapal yang melaut berkurang sekitar 35%. Namun hanya dalam 6-7 bulan jumlah kapal sudah kembali seperti semula. Beruntungnya, kali ini digantikan oleh kapal-kapal dalam negeri.
Studi juga menunjukkan meskipun total produksi menurun, tetapi ukuran hasil tangkapan cenderung naik. Misalnya Tuna jenis Big Eye, Yellow Fin dan SBT yang didaratkan di Benoa tahun 2015-2016 mengalami perkembangan ukuran sekitar 3-5 CM.
Untuk itu, Zulficar mengatakan, data tuna perlu dipahami dan dilihat secara komprehensif, tidak bisa menggunakan satu referensi saja. Menurutnya, harus ada konsolidasi sehingga data gap dan regional bisa memberikan deskripsi yang lebih utuh.
Zulficar menambahkan, saat ini Indonesia berada pada posisi sangat strategis untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam mendukung kedaulatan perikanan, dan di saat yang sama juga memastikan keberlanjutan sumber daya terjamin dengan baik.
“Hasil studi UCSB-Balitbang mengestimasi bahwa tanpa kebijakan anti IUU Fishing yang Indonesia lakukan, pada 2035 stok ikan Indonesia akan berkurang sebanyak 81%. Jika ada kebijakan tapi tidak dilakukan reformasi perikanan maka effort perikanan berkurang hingga 26%. Sebaliknya jika melakukan kebijakan serta domestic reform stok ikan akan meningkat hingga 25%,” tambah Zulficar.
Peningkatan stok ini terkonfirmasi dengan meningkatnya Maximum Sustainable Yield (MSY) Indonesia tahun 2013 sebesar 7,3 ton menjadi 9,93 ton pada 2015.
Tata Kelola Berkelanjutan
Sebelumnya, kepada Bergelora.com dilaporkan, pencurian ikan dan penangkapan secara berlebihan di kelautan mengakibatkan spesies tuna di perairan Nusantara terancam punah. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar mengatakan, untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah terus giat meningkatkan tata kelola kelautan dan perikanan Indonesia yang berkelanjutan.
Strategi yang digunakan adalah dengan memerangi illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF), memberlakukan memoratorium perizinan kapal ikan eks-asing di perairan Indonesia, melarang pemindahan muatan di laut atau transshipment, dan melarang kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia. Utamanya dengan membatasi penggunaan alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan.
“Purse seine, dan alat tangkap seperti trawls atau cantrang itu adalah yang paling bahaya dan tidak ramah lingkungan. Bayangkan saja panjangnya bisa ratusan kilo meter, bisa dari Jakarta hingga Semarang. Berbagai jenis ikan dan berbagai ukuran bisa ditangkap. Bahkan hingga bayi-bayinya. Bayangkan kalau ini terus dibiarkan, nelayan bisa kehilangan mata pencaharian,” ujar Zulficar dalam pidatonya di acara Katadata Forum ‘Tuna Indonesia dalam Ancaman Kepunahan’ di Jakarta, Jumat (17/2).
Menurut Zulficar, pemerintah akan fokus menjalankan tiga pilar kelautan perikanan Indonesia, yaitu kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan. Menurutnya, eksploitasi laut secara berlebihan untuk mencapai prosperity atau kesejahteraan tidak akan berjalan baik jika tidak dibarengi dengan usaha konservasi berkelanjutan, begitu pula sebaliknya.
“Sebanyak 85% total ikan dunia sudah over exploitation dan over fishing. Artinya kompetisi ikan begitu besar, orientasi kebutuhan ikan begitu besar, kita ingin mendapatkan ikan dalam jumlah besar. Jadi kalau tidak dilakukan upaya strategis pengendalian akan terjadi kekacauan dalam tata kelola,” terang Zulficar.
Ia menyebutkan, ribuan kapal asing terus mencuri ikan di perairan Indonesia. Mereka bahkan melakukan kejahatan dengan melakukan duplikasi izin di Indonesia, sehingga ada sekitar 7.000-10.000 kapal asing menjarah di kelautan Indonesia setiap tahunnya.
“Kapal asing ini menyebabkan nelayan Indonesia sulit menangkap ikan. Tidak heran jika Nilai Tukar Nelayan rendah. Nelayan kita sulit bersaing dengan nelayan-nelayan lain karena ikannya sudah dihabiskan. Tingkat kemiskinan, gizi buruk, akhirnya menyebabkan destructive fishing, pengeboman ikan. Ini yang terjadi di seluruh pesisir laut Indonesia. Sehingga KKP mengeluarkan kebijakan mengusir seluruh kapal asing keluar dari Indonesia. Kenapa? Karena Indonesia harus berdaulat,” tambah dia.
Zulficar menyebut, ke depan tantangan kelautan perikanan Indonesia akan semakin besar.
“Pertumbuhan penduduk sangat besar, 2050 penduduk bumi akan berkembang dari 7 miliar menjadi 9 miliar. Kebutuhan ikan berkembang luar biasa. Sementara kompetisi di bidang kelautan perikanan itu semakin ketat, semakin rapat. Kalau kita tidak lakukan berbagai upaya strategis, masa depan kelautan kita ini terancam,” tambah dia.
Berdasarkan data Indian Oceans Tuna Commission (IOTC), stok tuna di Indonesia, khususnya jenis yellowfin dan cakalang berkurang drastis. Jika tak segera ditanggulangi, keduanya terancam punah dalam 3 hingga 10 tahun mendatang.
Tuna merupakan hasil laut unggulan Indonesia. Tangkapan tuna di Indonesia menyumbang 16% produksi global. Nilai ekspor tuna tahun 2015 mencapai USD500 juta atau sekitar Rp6,7 triliun. Tuna sudah menjadi sumber penghasilan bagi jutaan nelayan Indonesia. (ZKA Warouw)