PONTIANAK – Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, Clarry Sada, memprotes Wakil Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, karena mengharuskan sertifikat ktaham qur’ban untuk bisa diterima di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri mulai tahun 2017.
“Ini persyaratan diskriminatif, karena SMP Negeri di seluruh Indonesia, termasuk di Pontianak, diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat. Bukan hanya dari agama tertentu saja,” kata Clarry Sada kepada Bergelora.com di Pontianak, Minggu (16/10).
Clarry Sada menanggapi wacana Wakil Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, agar persyaratan masuk SMP Negeri di Pontianak dimulai tahun 2017 mendatang, calon siswa mesti mengantongi sertifikat khatam qur’an.
Dikatakan Clarry, banyak sekali orangtua siswa mempertanyakan peryaratan yang sangat tendensius dari Pemerintah Kota Pontianak, karena kesannya fasilitas sekolah pemerintah, hanya untuk kelompok tertentu saja.
Dikatakan Clarry, ada sejumlah pertanyaan, berkaitan berpsyaratan dimaksud. Di antaranya, apakah syarat Khatam Alquran ini sebagai syarat mutlak meskipun calon siswa tersebut telah lulus dari seleksi online?
Tahun Ajaran 2017 sudah dekat (sekitar 6-7 bulan) sehingga anak kami (mungkin saja) belum bisa menyiapkan sertifikat khatam?
SMP adalah sekolah untuk umum (artinya ada siswa yang beragama lain), apakah siswa yang beragama lain juga harus menyiapkan “sertifikat” setara sertifikat khatam atau tidak?
Kemudian, apa yang melandasi kebijakan bapak Wakil Walikota terkait dengan khatam ini?
“Bukan saja masyarakat masyarakat non Islam mempertanyakan persyaratan dimaksud, tapi justru banyak dari kalangan umat Islam,” kata Clarry.
Terutama masyarakat yang tinggal diluar kota Pontianak dan bermaksud untuk menyekolahkan anak mereka di Kota Pontianak.
“Secara pribadi, kami menyambut baik ide ini mengingat pendidikan agama adalah salah satu media yang membentuk karakter anak-anak atau generasi penerus menjadi generasi yang berakhlak mulia, bermartabat dan bermoral baik,” ungkap Clarry.
Peristiwa-peristiwa tawuran dan kejahatan yang melibatkan para pelajar, ujar Clarry, cukup memperihatinkan kita sebagai orangtua dan masyarakat sehingga perlu ada upaya dan komitmen masyarakat dan pemerintah untuk mengatasinya.
Oleh karena itu, gagasan ini patut di dukung. Namun demikian, perlu juga mempertimbangkan aspek lain terkait dengan kesiapan orangtua calon siswa dan status SMP yang bukan sekolah berbasis agama, seperti: MTs dan MA. Atau perlu kreativitas dan inovasi dalam membangun dan membentuk karkater generasi muda.
Oleh sebab itu, lanjut Clarry, kebijakan yang baik ini perlu suatu kajian yang mendalam dan dukungan dari berbagai pihak agar implementasinya akan lebih baik dan mulus. (Aju)