JAKARTA- Pola konsumsi air bersih masyarakat Indonesia cukup memprihatinkan. Air minum dalam kemasan (AMDK) paling diminati. Oxfam mengidentifikasi orang Indonesia mengkonsumsi 144 liter air per hari, atau sekitar delapan galon per hari dan 65 persennya adalah konsumsi AMDK. Tercatat pada 2014 konsumsi AMDK mencapai 23,1 milyar liter per tahun, setara dengan Rp 21 triliyun. Hal ini disampaikan Natural Resources Management Coordinator Oxfam GB, Taufiqul Mujib kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (24/11)
“Hak air adalah hak asasi manusia dan pembangunan tak boleh mengganggu hak masyarakat lain” katanya sebelumnya dalam diskusi publik Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Minggu (22/11) bertema “Hak Rakyat Atas Air untuk Pembangunan Berkelanjutan” bekerjasama dengan sebuah lembaga donor Inggris, Oxfam dan lembaga donor Australia, AusAid
Sebelumnya, Wakil Ketua Forum Daerah Aliran Sungai Nasional, Naik Sinukaban menjelaskan bahwa Indonesia berada dalam krisis air. Ketersediaan air bersih saat ini bisa dilihat dari banyaknya sungai yang mengalirkan air bersih.
“Pada 2025 sebanyak 321 juta penduduk akan kesulitan mendapatkan air bersih” ungkapnya. Hal tersebut terjadi lantaran permintaan air bersih naik sebesar 1,33 kali, berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang kekurangan air,” ujarnya dalam diskusi publik Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), dalam kesempatan yang sama.
Terkait regulasi untuk memenuhi hak atas air bagi rakyat Indonesia, Mahkamah Konstitusi memberikan sejumlah pembatasan dalam pengelolaan sumberdaya air. Misalnya setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Sebagai cabang produksi yang penting, air mutlak harus dalam pengawasan dan pengendalian negara. BUMN dan BUMD dalam hal ini memainkan peran penting pengelolaan air. Selain itu, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu.
Pembangunan sebuah negara terindikasi melanggar hak asasi manusia ketika hanya mengacu kepada infrastruktur dan abai pada lingkungan dan ekosistem. Kacamata developmentalis ini hakikatnya hanya menghabiskan sumberdaya. Sementara air sebagai salah satu sumberdaya alam terus mengalami krisis yang jauh dari pemulihan. Akibatnya masyarakat seluruh dunia kesulitan mendapatkan akses air bersih yang berkualitas.
Kota-kota di kepulauan Pasifik saat ini rawan kekurangan air bersih, termasuk di Jakarta. Di Jakarta permukaan tanah mengalami penurunan 10 meter per tahun akibat eksploitasi air tanah dan pembangunan gedung. Hal ini diperburuk dengan siklus bencana banjir tiap 2-5 tahunan di Ibukota dan air hujan hanya bisa diserap tanah sekitar 25 persen. Kondisi demikian karena 75 persen air yang jatuh menjadi limpahan hanya menggenangi perkotaan, menyulitkan 43 persen warga Jakarta mendapatkan pasokan air bersih.
Pada 2010 PBB mengeluarkan resolusi yang menegaskan bahwa air dan sanitasi adalah hak asasi manusia. Lima tahun kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD RI 1945. Keberpihakan dunia dan negara terhadap hak atas air merupakan kemenangan masyarakat. Meski demikian pencapaian dan pemenuhan hak atas air masih jauh panggang dari api.
Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu jawaban normatif terkait krisis air di berbagai belahan dunia. Berkelanjutan berarti memiliki komitmen terhadap kesetaraan dan keadilan, menghindari, mencegah kerusakan serta memperbaiki pemahaman dan tindakan dalam interkoneksitas lingkungan, ekonomi dan sosial. (Calvin G. Eben-Haezer)