JAKARTA- Sudah saatnya buruh Indonesia bisa menikmati bagi hasil usaha dalam perusahaan maupun industri tempat dirinya bekerja dengan memilik saham perusahaan. Oleh karena itu, pemerintah di masa depan, siapapun yang terpilih dalam pemilihan presiden pada 9 Juli 2014 diminta untuk sungguh-sungguh bisa memastikan kesejahteraan buruh tidak sekedar menaikkan upah buruh dan berbagai kebutuhan normatif saja, tetapi mau berbagi keuntungan perusahaan dengan kaum buruh. Aktifis buruh perempuan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN), Tiasri Wiandani kepada Bergelora.com di Tangerang, Minggu (29/6).
“Konsep dan praktek pekerja hanya sebagai tenaga kerja yang hidup dari upah, pesangon dan bonus harus segera dirubah. Buruh juga harus mendapatkan kesempatan menikmati keuntungan perusahaan dengan sistem bagi hasil. Buruh berhak atas saham perusahaan,” tegasnya.
Menurutnya sudah seharusnya kaum buruh menuntut sistem bagi hasil karena karena kapital yang dimiliki pemilik modal itu sejajar dengan tenaga kaum buruh dalam produksi.
“Dengan sistem bagi hasil maka buruh dan pengusaha akan mempunyai visi dan misi bersama untuk peningkatan produktivitas dan keuntungan perusahaan,” jelasnya.
Kepemilikan saham oleh buruh dengan modal tenaga kerja menurutnya, akan memastikan hak-hak buruh dalam industri karena buruh akan ikut serta dalam rapat umum pemegang saham. Dengan demikian, lanjut Tiasri Wiandani setiap rapat umum pemegang saham, kaum buruh ikut serta mengevaluasi kerja dan keuntungan serta memikirkan peningkatan kualitas produksi. Sehingga kepentingan buruh dan pemilik modal hanya satu yaitu meningkatkan keuntungan perusahaan dengan meningkatkan kualitas produksi.
“Jadi selain menerima upah dan bonus dari kerja setiap bulannya, kaum buruh sebagai pemegang saham juga berhak menerima bagi hasil dari keuntungan perusahaan setiap tahunnya. Dengan demikian, peningkatan kesejahteraan buruh akan lebih cepat dan tuntutan kenaikan upah akan menjadi rasional,” paparnya.
Sistim yang Menghisap
Saat ini menurutnya, tenaga kerja buruh bukan dianggap sebagai modal yang sejajar dengan kapital milik pengusaha. Sehingga perhitungannya buruh cukup hanya mendapatkan upah, bonus dan pesangon. Ia menjelaskan pemisahan antara kerja buruh dan kapital dilakukan pemilik modal, karena kepentingan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menekan upah buruh.
“Dalam sistim industrial yang menghisap seperti saat ini, sampai kapanpun perjuangan kenaikan upah tidak akan bisa mengejar kenaikan harga kebutuhan hidup. Apalagi mensejahterahkan keluarga buruh,” Ujarnya.
Dipihak lain katanya, tuntutan kenaikan upah semakin tinggi menjadi tidak rasional karena tentu akan membangkrutkan perusahan dan industrinya. Padahal kalau industrinya bangkrut yang paling menderita adalah kaum buruh. Kalau industri nasional bangkrut maka menurutnya negara dan rakyat Indonesia yang akan bangkrut.
“Sekarang tinggal pemerintah yang akan datang, apakah hanya sekedar pro investasi tapi tetap mempertahankan sistim yang menghisap ini atau berani merubah undang-undang dan peraturan hubungan industrial yang mensetarakan buruh dan pemilik modal. Sehingga buruh mendapatkan hak bagi hasil sahamnya dalam industri,” ujarnya. (Dian Dharma Tungga)