JAKARTA — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat kenaikan radikalisasi di tengah masyarakat dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir.
BNPT tak mengungkap angka kenaikannya. Namun, berdasarkan data BNPT, kelompok remaja, anak-anak, dan perempuan menjadi target tertinggi dalam proses radikalisasi.
“Kami melakukan penelitian sejak 2016, ternyata terjadi peningkatan proses radikalisasi di kalangan remaja, anak-anak, dan perempuan,” kata Kepala BNPT Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel dalam rapat di Komisi III DPR, Senayan, Kamis (27/6).
Rycko mengatakan sejak 2016 BNPT memiliki 3.000 tim peneliti yang melakukan penelitian di kalangan remaja. Terutama di SMA kota-kota besar.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, menurut dia, terjadi perubahan pola serangan dari semula terbuka menjadi serangan lewat proses radikalisasi terhadap kelompok anak muda atau remaja. Ia menuturkan kelompok teroris mulai menyadari model serangan terbaru lebih berdampak dibanding serangan terbuka.
“Terjadi shift of paradigm, shift of approach, dari hard attack berubah menjadi soft attack,” katanya.
Sejak 2024, kata Rycko, BNPT mulai fokus mendalami kenaikan angka radikalisasi. Hasilnya, ada kenaikan angka intoleransi atau proses perubahan seseorang menjadi intoleran, karena tak memiliki pemahaman terhadap ideologi kekerasan.
“Jawaban satu dari hasil penelitian ini, lack of education, public awareness, pengetahuan mereka tentang ideologi kekerasan ini tidak ada,” katanya.
Memanfaatkan Agama
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan juga Komjen Mohammed Rycko Amelza Dahniel menegaskan ideologi atau aksi terorisme tidak berhubungan dengan salah satu agama. Rycko menilai tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan.
Sebaliknya, Rycko menilai simbol keagamaan kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang melakukan aksi terorisme.
“Ideologi dan aksi terorisme tidak ada hubungannya dengan salah satu agama. Karena tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan, justru ideologi ini memanfaatkan simbol-simbol dan atribut keagamaan,” kata Rycko.
Selain itu, Rycko menyampaikan pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi aksi terorisme. Salah satunya, kata dia, ialah dengan melakukan take down konten media sosial yang bermuatan intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme (IRET).
“2023 BNPT sudah melakukan take down terhadap 1.992 konten medsos yang bermuatan IRET, yang dilakukan oleh kementerian/lembaga, seperti Densus 88 Polri 5.670 konten, Bareskrim 76 konten, TNI 56 konten, Kominfo 1.863 konten,” ujarnya.
Dia menuturkan pihaknya menerapkan tiga strategi pencegahan terorisme, yakni pencegahan konten radikal dengan preemptive strike yakni melakukan patroli siber, take down konten, ataupun kontranarasi.
“Kedua, ketika konten dunia maya sudah dimulai dibaca dan mempengaruhi cara berpikir, kami menerapkan strategi preventive strike take down dan kontranarasi ditambah dengan sosialisasi secara tatap muka kepada kelompok rentan,” ungkapnya.
“Ketika konten sudah mempengaruhi sikap dan tindakan daripada warga, kami merapat strategi restorative strike itu melalui penegakan hukum dan proses deradikalisasi,” imbuh dia. (Web Warouw)