Oleh: Salamuddin Daeng
Ekonomi Indonesia menghadapi titik suram. Kebijakan pemerintah yang membatasi konsumsi BBM merupakan suatu tanda bahwa krisis ekonomi yang parah tengah dihadapi Indonesia. Kebijakan pembatasan BBM merupakaan langkah menuju kenaikan harga BBM sesuai dengan permintaan pasar. Pemerintah sudah tidak punya uang untuk disetorkan kepada perusahaan perusahaan penghasil BBM.
Pembatasan BBM, mirip juga dengan pembatasan konsumsi minyak, beras, pangan, menjelang kudeta militer 1965. Tanpa melakukan nasionalisasi migas, mengambil alih perusahaan Chevron, Exon, dan lainnya, maka tidak
mungkin pemerintahan siapapun yang berkuasa dapat keluar dari jurang krisis ini. Sementara nasionalisasi
migas yang saat ini, 85 persen dikuasai asing adalah hal yang tidak mungkin. Pemimpin yang lahir dari
pentas pemilu “Indonesian Idol” tidak akan punya keberanian menempuh langkah mendasar.
Tantangan utama yang dihadapi pemerintahan adalah meluasnya kemiskinan dan melebarnya ketimpangan ekonomi antara sekelompok kecil orang kaya dengan mayoritas rakyat yang semakin tidak memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan dasar akibat kenaikan harga harga.
Sementara pemerintah dipaksa menaikkan harga BBM paling tidak dalam tahun ini sebesar 40% untuk mengatasi ambruknya APBN untuk membeli minyak mentah dari perusahaan asing di Indonesia dan membeli dari sumber sumber impor yang jumlahnya separuh dari kebutuhan minyak mentah nasional. Kenaikan harga BBM akan memiliki dampak lebih jauh pada kenaikan harga-harga, meningkatnya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Disinilah era huru-hara akan lebih cepat terjadi.
Sementara jika terus melakukan impor, dampaknya defisit perdagangan dan neraca pembayaran akan semakin membengkak. Saat ini sumber terutama defisit yang dihadapi Indonesia adalah impor minyak mentah. Perusahaan-perusahaan kontraktor pemerintah lebih sibuk mengejar keuntungan dari kenaikan harga minyak mentah dan pasar financial, ketimbang memproduksi minyak.
Sapi Perahan
Satu-satunya langkah yang dapat ditempuh pemerintah sekarang dan juga pemerintah ke depan adalah menumpuk hutang luar negeri. Pemerintah dan swasta dikerahkan memburu hutang. Swasta mencetak pendapatan dengan hutang, pemerintah menutup APBN dengan hutang. Perekonomian nasional tidak ditopang oleh peningkatan produktifitas dan nilai tambah, namun oleh hutang.
Padahal utang luar negeri (ULN) Indonesia sudah berada pada tingkat yang membahayakan kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara. Hingga kwartal I 2014 utang ULN mencapai Rp 3.317 triliun (pada kurs Rp. 12 ribu/USD). Total bunga dan cicilan utang pokok Rp 421 triliun, melebihi seluruh pertumbuhan riel ekonomi Indonesia setahun. Bangsa Indonesia bagai sapi perah negara-negara besar di dunia.
Dengan demikian seluruh hasil keringat, jerih payah bangsa Indonesia selama setahun tidak cukup untuk membiayai bunga dan cicilan pokok utang luar negeri. Inilah bentuk penghisapan atas suatau bangsa yang sangat tidak beradab.
Demikian pula pemerintah sendiri, terus memburu hutang dalam rangka menutup jebolnya APBN. Padahal total hutang pemerintah dari luar dan dalam negeri Rp 2.598, lebih dari 2 kali total penerimaan negara pajak setahun.
Hutang pemerintah yang sudah sangat besar ini menyebabkan APBN tidak lagi mampu membiayai kesejahteraan sosial karena hanya cukup membayar bunga dan cicilan hutang. Namun pemerintah seolah menutup mata dan hanya berfikir menyelamatkan diri sendiri. Tidak peduli dengan beban besar bagi generasi mendatang.
Pemerintahan ke depan seperti telur yang di ujung tanduk, namun memikul beban yang sangat besar. Goncangan krisis internasional, pertarungan yang semakin keras antara kekuatan-kekuatan global, disertai dengan krisis ekonomi dan politik dalam negeri akan membuat bangsa Indonesia berahir berantakan. Indonesia berada di titik kerapuhan di tengah ancaman globalisasi neoliberal yang semakin mengganas.
* Penulis adalah Peneliti di Institute For Global Justice (IGJ) dan Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)