JAKARTA- Komite III DPD RI menggelar penyusunan pandangan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh (PIHU) yang merupakan usul inisiatif Komisi VIII DPR. RUU ini diharapkan bisa menjadi harapan masyarakat dalam penyelenggaraan haji dan umroh.
“Kita berharap pandangan RUU ini bisa menjadi harapan masyarakat mendapatkan angin segar bagi penyelenggaraan ibadah haji atau umroh,” ucap Ketua Komite III DPD Hardi Slamet Hood saat RDP dengan Ketua Umum Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (7/9).
Kepada Bergelora.com dilaporkan bahwa, Ade menjelaskan penyelenggaraan ibadah haji telah melibatkan lintas departemen dan negara. Artinya, proses ibadah haji telah menggambarkan cakupan yang luas. “Berdasarkan UUD 1945, negara harus bertanggungjawab dan menjamin pelaksanaan ibadah haji dengan baik,” tutur dia.
Ia menambahkan, untuk menjamin penyelenggaraan ibadah haji yang baik. Maka penyelenggaraan menjadi tugas nasional yaitu di bawah kendali utama Pemerintah. “Pemerintah sebagai operator, eksekutor dan regulator dalam penyelenggaraan haji,” harap Ade.
Menurut Ade, lahirnya draf RUU tersebut perlu diapresiasi oleh semua pihak. Sehingga konten dan substansi dari UU ini lebih sempurna.
“Diharapkan UU ini kedepan bisa sesuai dengan harapan dan kehendak semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat muslim Indonesia,” cetusnya.
Ade juga menyarankan dalam RUU itu pada Majelis Amanah Haji (MAH) perlu ditambah umroh menjadi MAHU (Majelis Amanah Haji dan Umroh). MAH seharusnya menjadi lembaga strategis, bertugas bukan sebagai pengawasan haji saja karena sifatnya musiman tiga bulan dalam setahun.
“Bagaimana dengan umroh, siapa yang mengawasi? Padahal kasus dalam penyelenggaraan umroh setiap tahunnya selalu muncul dan jamaah yang menjadi korban,” kata Ade.
Selain itu, Ketua Komite III DPD mempertanyakan hubungan antara Badan Penyelenggaraan Haji Indonesia (BPHI) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang belum jelas dalam RUU tersebut. “Ini harus jadi perhatian dari RUU ini. Sehingga tugas dan fungsi bisa jelas agar tidak ada perselisihan,” papar dia.
Dikesempatan yang sama, Anggota Komite III DPD Ahmad Sadeli Karim mengapresiasi pandangan dari Ade Marfuddin. Namun ia menyarankan MAHU tidak perlu ada, seharusnya DPR, DPD, dan masyarakat yang turun serta dalam pengawasan. “Menurut saya MAHU dihilangkan saja. Jadi kalau mau ada komisi pengawasan langsung saja siapa. Jadi tidak perlu menggunakan majelis amanah,” tanya dia.
Menjawab pertanyaan itu, Ade Marfuddin menjelaskan bahwa MAHU tugasnya hanya melakukan pengawas BPHI. Hal itu merupakan perpanjangan dari RUU ini, maka perubahan menjadi MAHU. “Saat ini pengawasan hanya pada haji tapi tidak pada umroh. Maka MAHU ini harus bisa menjadi perbaikan terhadap pengawasan haji dan umroh,” lontarnya.
Terkait BPKH dan BPHI, sambungnya, BPHI akan berkoordinasi dengan BPKH. BPHI akan berkonsentrasi pada aspek pengawasan dari pendaftaran, perlengkapan dll. Namun tidak dalam pengurusan keuangan yang merupakan ranah BPKH. “Keuangan itu ranahnya BPKH. Sedangkan BPHI murni dalam pelaksanan maka tidak tercampur dari dana-dana. Maka peluang-peluang korupsi bisa terkikis karena ada BPKH,” terang Ade. (Enrico N. Abdielli)