NIAMEY – Pemerintah Niger akhirnya mengungkap alasan mengapa mereka memutuskan hubungan militer dengan Amerika Serikat (AS). Salah satu alasannya karena Niamey tak terima dengan sikap pejabat Washington yang membuat ancaman selama perundingan. Itu disampaikan Perdana Menteri Niger Ali Mahamane Lamine Zeine dalam sebuah wawancara yang diterbitkan oleh Washington Post pada hari Selasa (14/5/2024).
Zeine mengulangi tuduhan bahwa delegasi senior AS, termasuk Molly Phee—pejabat tinggi Departemen Luar Negeri AS untuk urusan Afrika—yang berada di Niamey pada bulan Maret untuk merundingkan pembaruan perjanjian pertahanan yang telah berusia satu dekade, berusaha mendikte negara mana yang harus menjadi mitra Niger.
Dalam pertemuan tersebut, kata Zeine, Phee memperingatkan negara itu agar tidak terlibat dengan Iran dan Rusia pada tingkat yang tidak dapat diterima oleh Washington jika ingin mempertahankan AS sebagai mitra keamanan.
Phee, lanjut Zeine, juga mengancam akan memberikan sanksi jika Niger mencapai kesepakatan untuk menjual uranium kepada Iran.
“Setelah dia selesai, saya berkata, Madame, saya akan merangkum dalam dua poin apa yang Anda katakan. Pertama, Anda datang ke sini untuk mengancam kami di negara kami. Itu tidak bisa diterima,” kata Zeine mengingat ucapannya saat itu. “Dan Anda datang ke sini untuk memberi tahu kami dengan siapa kami dapat menjalin hubungan, yang juga tidak dapat diterima. Dan Anda melakukan semuanya dengan nada merendahkan dan kurang hormat,” lanjut Zeine.
Pemerintahan militer Niamey membatalkan perjanjian keamanannya, yang mengizinkan 1.000 tentara dan kontraktor sipil AS beroperasi di Niger, pada pertengahan Maret, hanya beberapa hari setelah pertemuan dengan delegasi Amerika. Pemerintah baru di bekas jajahan Perancis itu mulai meninjau kembali kesepakatan yang ditandatangani dengan mitra Barat sejak penggulingan Presiden Mohamed Bazoum Juli lalu.
Prancis menarik pasukannya dari Niger pada bulan Desember setelah Niamey memerintahkan mereka keluar karena diduga gagal memerangi pemberontakan jihadis di Sahel.
Pihak berwenang juga menuduh bekas penguasa kolonial tersebut berperilaku agresif dan campur tangan urusan internal.
Washington, yang mengutuk kudeta tersebut dan bergabung dengan Paris serta sekutu lainnya dalam menangguhkan bantuan ke Niamey, sebelumnya mengesampingkan pelepasan diri dari Niger, yang sangat penting bagi misi kontraterorismenya di wilayah Sahel.
Zeine mengatakan kepada Washington Post bahwa pihak berwenang di Niamey bingung karena AS bersikeras mempertahankan pasukannya di negara tersebut dan menolak memberikan dukungan tambahan kepada pasukan Niger, termasuk peralatan militer untuk melawan serangan ekstremis.
“Amerika tetap tinggal di wilayah kami, tidak melakukan apa pun sementara teroris membunuh orang dan membakar kota,” kesal Zeine.
“Ini bukan pertanda persahabatan jika kita datang ke tanah kami, tapi membiarkan teroris menyerang kami. Kami telah melihat apa yang akan dilakukan Amerika Serikat untuk membela sekutunya, karena kami telah melihat Ukraina dan Israel,” paparnya.
Kepada Bergelora.com di Jakarra dilaporkan dari Niamey, negara yang terkurung daratan ini telah meminta bantuan keamanan kepada Moskow, dan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengonfirmasi awal bulan ini bahwa pasukan Rusia berbagi pangkalan dengan pasukan Amerika di Niger.
Instruktur militer Rusia dilaporkan berada di Niamey untuk melatih tentara nasional dalam taktik kontraterorisme, karena pasukan Amerika dijadwalkan meninggalkan negara Afrika tersebut dalam beberapa bulan mendatang, seperti yang diminta oleh pemerintah Niger. (Web Warouw)