JAKARTA- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyayangkan atas pernyataan Jenderal Pol. Sutarman Selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), terkait kasus Penyerangan sekelompok massa intoleran terhadap jemaat dan rumahnya saat mereka melakukan kegiatan peribadatan pada Kamis, 29 Mei 2014 malam di Sleman Yogyakarta.
“Karena pernyataan seperti itu potensial digunakan sebagai pembenaran bagi massa intoleran melakukan tindakan-tindakan anarkis yang melanggar UUD 1945, UU No. 29 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2005,” demikian Ketua Badan Pengurus YLBHI, Alvon Kurnia Palma kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (7/6).
Kapolri sebagai pimpinan tertinggi institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menurutnya seharusnya bisa menjadi tauladan dan Garda Terdepan dalam proses penegakkan hukum dan menjamin terwujudnya toleransi beragama dalam tatanan kehidupan social kemasyarakatan sebagaimana yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945, UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.12 Tahun 2005 Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, serta berbagai regulasi lainnya yang sejalan dengan upaya pemajuan penghormatan, perlindungan, penegakkan dan pemenuhan hak kebebasan beragama/berkeyakinan dan hak untuk menjalan ibadah sesuai dengan agama/keyakinannya bagi setiap warga negara.
“Sesuai Tribrata Polri, kewajiban Polri salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan dan mengayomi masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Catur Prasetya Polri juga menegaskan bahwa Polri harus memelihara perasaan tentram dan dama,” tegasnya.
Menurutnya, Kapolri seharusnya menyadari, bahwa tindakan penyerangan terhadap kegiatan ibadah minggu di Selman – Yogyakarta, adalah bentuk pelanggaran pidana dan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia, sebagaimana yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No.12 Tahun 2005.
Sudah banyak catatan YLBHI terkait peristiwa intoleransi terjadi karena kegagalan pihak kepolisian dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat maupun korban serta menindak secara tegas pelakunya, dengan tetap mengindahkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standard Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kaporli No.14 taun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Bahkan peristiwa demi peristiwa terus terjadi, karena lambannya institusi kepolisian dalam melakukan penegakan hukum, sehingga peristiwa-peristiwa intoleransi dan kekerasan atas dasar agama terus terjadi tanpa dapat dicegah sedemikian rupa dan ada penindakan dan penyelesaian sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang,” ujarnya.
Tidak Netral
Terkait dengan beberapa peristiwa yang terjadi, YLBHI juga menilai bahwa pihak kepolisian dalam hal ini sering berada dalam posisi tidak netral sebagai aparat penegak hukum. Sehingga berujung terjadinya sejumlah pelanggaran dalam melakukan proses penegakan hukumnya.
YLBHI mendesak agar Kapolri menarik kembali pernyataannya terkait tidak diperkenankannya rumah digunakan untuk tempat ibadah. Polri menurutnya harus menyelidiki dan menindak tegas secara tuntas sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atas peristiwa penyerangan oleh massa intoleran terhadap kegiatan peribadatan di Sleman Yogyakarta dan terhadap peristiwa-peristiwa lainnya di Indonesia.
“Seharusnya Polri netral dalam menjalankan tugas dan tegas dalam memberikan perlindungan terhadap warga Negara yang mendapat ancaman dari tindakan-tindakan intoleransi dan kekerasan atas dasar agama, sesuai dengan amanah Konstitusi, UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 12 Tahun 2005, Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 dengan tetap mengindahkan KUHAP dan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011,” ia mengingatkan.
Polri menurutnya harus memahami dengan baik dan mampu memanivestasikan ketentuan UUD 1945 Pasal 28B (2), Pasal 28D (1), Pasal 28E (1), Pasal 28G, Pasal 28I, Pasal 28J, UU No.39 Tahun 1999 Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 9 (2), Pasal 22 (1), (2), Pasal 29 (1), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 35m Pasal 67, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 100, UU No.12 Tahun 2005 Pasal 18, Pasal 20 (2), Pasal 26, Pasal 27, yang berkenaan dengan jaminan kebebasan warga Negara untuk beribadah menurut keyakinannya. (Dian Dharma Tungga)