JAKARTA- Belum usai persoalan konstitusionalitas Pilpres 2014, kini muncul lagi persoalan terkait norma Pasal 6 ayat 3 dan 4 UUD 1945. Kalau pasangan hanya 2, berlakukah norma yang diatur dalam Pasal 6 ayat 3 bahwa pemenang harus menang minimal 20% di 1/2 provinsi? Atau langsung lompat ke pasal 6 ayat 4 pasangan tadi langsung jadi pemenang asal memperoleh suara terbanyak? Hal ini dikemukkan oleh Ahli Hukum Tatanegara,Yusril Ihza Mahendra kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (11/6).
“Kelihatannya Pasal 6 ayat 3 mengasumsikan jumlah pasangan adalah lebih dari dua. Tidak mengantisipasi kalau pasangan hanya 2. Kalau saja MK kabulkan permohonan saya, persoalan konstitusionalitas Pilpres 2014 terkait pasal 6 ayat 3 dan 4 takkan ada, sebab jumlah pasangan capres/cawapres pasti akan lebih dari dua pasangan seperti sekarang,” demikian ujarnya.
Kini kedua pasangan menurutnya saling berhadapan menghadapi Pilpres 9 Juli, sementara pasal 6 ayat 3 dan 4 masih jadi perdebatan. Kalau tafsir atas pasal 6 ayat 3 dan 4 ini belum clear, potensi risiko “rame” di Pilpres 2014 bisa saja terjadi.
“Kini siapa yang berwenang menafsirkan ketentuan Pasal 6 ayat 3 dan 4 UUD 1945 tersebut? Para Akademisi? Atau Politisi? Atau kedua pasangan? ” ujarnya.
Menurutnya seharusnya MK yang paling berhak sebagai penafsir tunggal konstitusi. Tapi, MK pernah menolak permohonannya untuk menafsirkan Pasa 6 ayat 2 dengan alasan tidak berwenang.
“Semua mereka boleh saja menafsirkan, tapi tafsir mereka kan sesuai bidangnya, tidak mengikat siapapun. Maka saya, yang netral dan tidak mau ikut-ikutan dukung mendukung salah satu pasangan dalam Pilpres 2014 ini tinggal tersenyum saja melihatnya,” ujarnya.
Ia mengusulkan agar kedua capres, Prabowo dan Jokowi menyelesaikan masalah ini karena keduanya calon presiden dan pemimpin kita Indonesia.
“Mari kita lihat bagaimana keduanya menyelesaikan persoalan ini sebelum mereka menyelesaikan persoalan rakyat, bangsa dan negara ini,” ujarnya.
Sebelumnya Yusril Ihza Mahendra pernah mengajukan permohonan uji UU Pilpres atas norma Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 namun tidak dikabulkan.
“Kalau saja Mahkamah Konstitusi (MK) kabulkan permohonan uji UU Pilpres yang pernah diajukan, maka persoalan konstitusionalitas Pilpres tidak akan serumit sekarang. Pilpres menjadi lebih sederhana, karena setiap parti politik (parpol) atau gabungan parpol perserta Pileg boleh mengajukan pasangan calon presiden (capres)/calon wakil presiden (cawapres). Maka sifat multi tafsir atas norma Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 dapat diakhiri,” ujarnya.
Kalau dikabulkan maka parpol atau gabungan parpol mengajukan capres sebelum Pileg. Dengan demikian, “koalisi” kalau ada, juga lebih murni karena masing-masing parpol belum tahu perolehan suaranya dalam Pileg. “Koalisi” takkan serumit dan tergesa-gesa seolah “kawin paksa” seperti sekarang ini.
“Koalisimodel sekarang ini berisiko tingggi yaitu potensi konflik antara Presiden dan Wakil Presiden, juga antara menteri dengan Presiden. Hal demikian berpotensi menimbulkan pemerintahan yang tidak efektif. Pemerintah tidak efektif akan merugikan rakyat yang telah memilih mereka. Tapi MK menolak permohonan saya. MK bilang mereka tidak berwenang menafsirkan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 yang saya mohon,” demikian Yusril Ihza Mahendra. (Web Warouw)