JAKARTA- Memperingati Hari AIDS sedunia 1 Desember 2014, Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa jumlah pengidap AIDS tertinggi di Indonesia sampai September 2014 adalah ibu rumah tangga sebanyak 6.539 orang. Total penderita AIDS sejak 1987 sudah mencapai 55.799 orang. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, DTCE. Kepada bergelora.com di Jakarta, Minggu (30/11).
Ia juga menjelaskan bahwa persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (67%) dan dari ibu positif HIV ke anak (4%). Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 54% dan perempuan 29%. Sementara itu 17% tidak melaporkan jenis kelamin.
“Faktor risiko penularan terbanyak melalui heteroseksual (61,5%), diikuti penularan melalui perinatal (2,7%),” jelasnya.
Menurutnya, sampai dengan September 2014, layanan HIV-AIDS yang aktif melaporkan data layanannya, ada pada 1.391 layanan Konseling dan Tes HIV (KTS) dan 182 layanan PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak).
Program pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA) menurutnya dirumuskan dalam kebijakan, yaitu intergrasi PPIA dalam pelayanan KIA melalui memberikan informasi PPIA pada semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatanan ibu, KB dan konseling remaja.
“Di daerah epidemi meluas, petugas wajib menawarkan test HIV dan Sifilis kepada semua ibu hamil secara inklusif dengan pemeriksaan rutin lainnya pada kunjungan antenatal sampai persalinan,” jelasnya.
Di daerah epidemi terkonsentrasi dan rendah dan rendah, petugas wajib menawarkan test HIV dan Sifilis secara inklusif dengan pemeriksaan rutin lainnya pada ibu hamil dan atau pasangannya yang berprilaku beresiko, yang mempunyai keluhan atau gejala IMS (infeksi menular seksual) dan dengan gejala oportunistik pada kunjungan neonatal sampai persalinan.
“Juga dilakukan kordinasi LP/LS termasuk LSM terkait pelayanan PPIA dan dilakukan monitoring dan evaluasi secara berjenjang,” ujarnya.
Kegiatan Pencegahan
Kegiatan menurutnya dilaksanakan secara komprehensif mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi melalui prinsip ABCD yaitu Absen seks, Bersikap saling setia, Cegah dengan kondom, Dilarang menggunakan Napza.
“Mencegah kehamilan tidak direncanakan pada ibu dengan HIV. Perempuan dengan ODHA tidak dianjurkan untuk hamil lagi, dapat menggunakan kontrasepsi pilihan sesuai dengan kebutuhan,” jelasnya.
Menurutnya untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV ke bayi yang dikandungan yang merupakan inti dari PPIA, intervensi berupa yaitu pelayanan antenatal terpadu berupa layanan tes dan konseling HIV, pemberian terapi anti retroviral, pencegahan, diagnosis dan tata laksana infeksi menular seksual, malaria dan tuberkulosa.
“Persalinan harus aman. Pelayanan nifas serta tata laksana pemberian makanan terbaik bagi bayi dan anak,” jelasnya.
Menurutnya,dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta bayi dan keluarganya berupa dukungan lanjutan bagi ibu dengan memeriksakan kondisi kesehatan mencakup CD4 dan viral load, pemantauan terapi ARV, konseling dan dukungan kontrasepsi serta pengaturan kehamilan.
“Dukungan pada bayi diberikan kotrimoksazol dan ARV pencegahan , informasi dan edukasi pemberian makanan bayi, diagnosis HIV pada bayi, penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya,” jelasnya lagi.
Tes dan konseling dalam PPIA dilakukan yaitu berupaTes dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TKIP), konseling ARV, konseling kehamilan dan persalinan, konsesling pemberian makanan bayi dan konseling psikologis dan sosial.
Terapi anti Retrovirus (ART) menurutnya dilakukan bertujuan untuk menurunkan kadar HIV serendah mungkin sehingga mengurangi resiko penularan merujuk pada Pedoman tatalaksana dan terapi ARV pada orang dewasa.
“Diberikan kepada semua perempuan HIV positif yang hamil, tanpa harus memeriksakan ART dilanjutkan seumur hidup,” jelasnya.
Pemberian makanan bayi menurutnya harus memperhatikan manajemen laksatasi yang baik untuk mencegah lecet dan radang payudara.
“Bila puting sedang lecet atau luka, ASI tidak diberikan melalui puting lecet. ASI ekslusif diberikan 6 bulan, atau dihentikan sesegera mungkin bila syarat AFASS terpenuhi. Sangat tidak dianjurkan memberikan makanan campuran ASI+Formula,” ujarnya
Syarat WHO untuk susu formula adalah AFASS yaitu Acceptable (dapat diterima), Feasible (mudah dilakukan), Affordable (harga terjangkau), Sustainable (berkesinambungan), Safe (Aman)
Untuk mencegah penularan ke anak menurut Tjandra Yoga, maka upaya deteksi dimulai dengan melakukan penawaran tes kepada Ibu hamil untuk mengetahui status HIV-nya. Sehingga dapat merencanakan tindakan selanjutnya seperti cara persalinan yang akan ditempuh, pemberian ASI serta pemantauan status HIV pada anak yang dilahirkan.
“Kebijakan Kemkes saat ini adalah ibu hamil yang HIV positif untuk segera di berikan ARV tanpa melihat berapapun nilai CD4 nya,” jelasnya.
Selain melakukan intervensi ke ibu dan anak, menurutnya upaya pencegahan infeksi pada anak perlu juga dilakukan pada suami atau pasangannya, yang umumnya merupakan lelaki beresiko tinggi biasanya lelaki yang doyan membeli seks.
“Pada pemeriksaan ibu hamil atau wanita dengan gejala IMS ataupun HIV positif maka pasangan atau suaminya harus juga diminta untuk melakukan pemeriksaan IMS dan HIV,” tegasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)