JAKARTA- Dalam rangka memperingati lahirnya PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), maka dikalangan gereja, Bulan Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Bulan Oikoumene. Tema Bulan Oikoumene Tahun 2016, adalah “Gereja yang Peduli dan Berbagai”. Pada tanggal 25 Mei 2016, tepat 66 tahun yang lalu PGI didirikan oleh gereja-gereja. Sejak saat itu, maka secara formal dimulailah gerakan oikoumene atau gerakan keesaan gereja. Demikian Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (26/5)
Ia menjelaskan, pada kesempatan ini, gereja-gereja Indonesia merayakan rahmat Tuhan yang telah memungkinkan gereja-gereja-Nya bertumbuh bersama, berupaya menyemaikan kebaikan dan damai sejahtera bagi semua, sebagaimana amanat Berita Injil.
“Kita menyambut dengan rasa syukur peningkatan komunikasi dan semangat persaudaraan yang semakin terjalin dengan baik di antara gereja-gereja dari berbagai latar belakang, hal yang merupakan wujud kesaksian gereja sebagai tubuh Kristus yang satu. Begitu juga kita syukuri kerjasama yang semakin berkembang di antara gereja-gereja dan semua anak bangsa dalam menjawab tantangan-tantangan bersama dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita,” jelasnya.
Namun, ia menegaskan PGI tak boleh cepat berpuas diri. Sebab persoalan terus-menerus hadir, bahkan tantangan semakin meningkat. PGI masih terus prihatin. Banyak gereja masih mengalami gangguan dan pelarangan beribadah, kemiskinan dan ketidakadilan masih terus membayangi.
“Paham radikalisme yang menjadikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan persoalan semakin menguat, kerusakan ekologis makin tak terbendung, korupsi masih sulit dibasmi, peredaran narkoba makin tak terkendali, dan perdagangan manusia justru semakin marak,” paparnya.
Gaya Hidup Individualistis
Menurutnya, situasi ini makin diperparah oleh kecenderungan menguatnya gaya hidup individualistis. Banyak orang semakin tidak peduli dengan orang lain dan apa yang terjadi di sekitarnya.
“Sejauh tidak menggangu diri saya, maka bukan urusan saya”, begitu komentar yang sering didengar. Orang makin merasa nyaman hidup sendiri, dan tidak rela keluar dari zona kenyamanannya. Orang lain akan menjadi penting sejauh dia menguntungkan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, saat ini relasi antar manusia lalu menjadi relasi ekonomis, bukan lagi relasi sosial alami yang saling membutuhkan. Orang menjadi sibuk mengurus urusannya sendiri, berjuang meraih dan menumpuk materi, kuasa dan kedudukan bagi kepentingan diri dan kelompoknya.
“Sikap hidup seperti ini tidak jarang bermuara pada keserakahan yang mematikan kehidupan bersama,” jelasnya.
Ia mengakui, gereja pun sedikit banyak terkena pengaruh nilai-nilai dan gaya hidup seperti ini, misalnya, gereja masih berkutat pada urusan internal. Acap kepedulian terhadap persoalan gereja tetangga masih sangat minim.
“Ironisnya, Injil menuntut pengikut Kristus untuk hidup dalam persekutuan yang saling peduli dan berbagi, namun tidak jarang kita saksikan masih adanya kesenjangan ekonomi-sosial di dalam jemaat, antar jemaat dan antar denominasi. Jika demikian, gereja pun bisa saja tidak peduli terhadap masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat kita,” ujarnya.
Peduli dan Berbagi
Gejala ini menurutnya terasa sangat serius. Kepekaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama dapat semakin tergerus. Untuk itu, maka PGI menetapkan Tema Bulan Oikoumene Tahun 2016, yakni “Gereja yang Peduli dan Berbagai”, yang diinspirasi oleh pesan Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus dalam 2 Korintus 8:1-15.
“Tema ini menjadi penting sebab kini acapkali kita hanya mau memberi dari kelebihan kita dan hanya ketika situasi kita sedang nyaman tanpa gangguan,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa, peduli dan berbagi adalah dua nilai penting dalam kehidupan sebuah masyarakat. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Peduli adalah sebuah sikap; dan berbagi adalah sebuah tindakan. Kepedulian menunjukan kesadaran untuk terikat bersama-sama dengan orang lain dalam satu kehidupan bersama, karena hidup dalam bumi yang satu.
“Dalam kepedulian seperti itulah, kita lalu dengan rela berbagi. Berbagi bukan karena kita kaya, lebih mampu dan mapan. Tapi karena yang lain adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita. Berbagi juga bukan semata-mata digerakkan oleh rasa kasihan hendak meringankan beban orang lain, bukan juga agar kita makin popular, tapi supaya ada keseimbangan. Keseimbangan berarti ada harmonis dalam kehidupan meskipun banyak perbedaan,” jelasnya.
Jeirry Sumampow menegaskan bahwa gereja diutus untuk hadir dan bersaksi melalui gaya hidupnya yang peduli dan rela berbagi sebagaimana yang diteladankan oleh Kristus. Bersama-sama dengan semua yang peduli pada kelanjutan kehidupan yang adil dan sejahtera di bumi ini.
“Marilah kita mengusahakan sebuah kehidupan yang lebih baik dan harmonis. Sebuah dunia dimana kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka. Agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Peduli dan berbagi menggarisbawahi sebuah pengakuan iman bahwa semua manusia saling membutuhkan,” tegasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)