JAKARTA- Kasus korupsi E-KTP sebesar Rp 2,3 Triliun adalah kasus korupsi terbesar yang merugikan negara dimasa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dibandingkan dengan kasus korupsi lainnya. Oleh karena itu, Rakyat menginginkan agar Presiden Joko Widodo mengerahkan semua upaya, untuk memastikan penegakan hukum dan pengembalian uang negara dari kasus korupsi ini.
“Korupsi pengadaan KTP elektronik yang diduga melibatkan banyak aktor merupakan salah satu praktik korupsi terbesar yang terjadi pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono,” demikian Hendardi, Ketua SETARA Institute kepada Bergelora.com, di Jakarta, Selasa (14/3).
Menurutnya, orang-orang yang disebut dalam dakwaan sidang perdana Irman dan Sugiharto pada Kamis (9/3) lalu bahkan sebagiannya memegang posisi kunci di lembaga-lembaga pemerintahan saat ini.
“Akibat pengungkapan kasus tersebut, kini KPK menghadapi pelemahan serius dari DPR melalui rencana revisi siluman Undang-Undang KPK dan pengguliran hak angket,” ujarnya.
Presiden Jokowi yang secara terbuka mengkritik proyek ini, kata Hendardi, tidak cukup hanya menjadi penonton pasif, tetapi harus memastikan dukungan terbuka pengungkapan praktik korupsi ini dengan cara menghentikan rencana revisi Undang-Undang KPK.
“Presiden memiliki kewenangan 50% membentuk Undang-Undang dan mendorong partai-partai pendukung pemerintah untuk menolak revisi Undang-Undang KPK dan pengguliran hak angket,” tegasnya.
Pengungkapan kasus ini bukan hanya pertaruhan keberpihakan presiden pada pemberantasan korupsi, tetapi juga pertaruhan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Gagalnya pengungkapan secara tuntas kasus E-KTP akan meruntuhkan martabat DPR dan Presiden di masa kini dan mendatang.
“Ketidakpercayaan rakyat pada penyelenggara negara akan semakin menguat dan sulit dipulihkan. Karena itu semua pihak harus memberikan dukungan pada pengungkapan kasus tersebut,” ujarnya.
Hendardi menegaskan, secara paralel, KPK perlu mempercepat penanganan kasus dengan cara memeriksa dan menetapkan tersangka orang-orang yang disebut dalam dakwaan, sehingga penyebutan nama-nama tersebut segera memperoleh klarifikasi.
“Jangan beri ruang mereka yang nyata-nyata menikmati uang hasil korupsi melakukan klarifikasi dan konsolidasi untuk menyerang balik KPK sambil menolak keterlibatannya,” tegasnya.
KPK menurutnya tidak perlu menunggu proses-proses persidangan untuk menetapkan tersangka baru, karena berlama-lama dalam menetapkan tersangka justru membuat KPK diduga berpolitik.
“Basis penetapan tersangka adalah bukti-bukti permulaan dari hasil pemeriksaan. Jadi tidak relevan kalau KPK justru menanti terlalu lama proses persidangan,” katanya. (Web Warouw)