JAKARTA- Rendahnya kualitas dan keterampilan politik dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menyebabkan kekalahan koalisi itu dalam mengisi kursi pimpinan MPR dan kekalahan dalam proses politik sebelumnya dari Koalisi Merah Putih (KMP). Salah satu penyebabnya adalah sikap ‘gede rasa’ KIH dengan kemenangan Jokowi-JK dan melupakan konstituen, relawan, dan masyarakat sipil dalam proses politik di parlemen. Hal ini disampaikan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (8/10).
“KIH semakin berjarak dengan kelompok kritis yang selama ini mengawal dan mendukung kemenangannya dalam Pilpres. Kalau KIH bisa membawa keluar suksesi kepemimpinan di DPR dan MPR sebagai diskursus publik dan partisipasi berkualitas, semestinya KIH bisa kembali mengulang kemenangan,” ujarnya.
Menurutnya, kanal komunikasi publik ini yang semestinya dibangun untuk memperoleh dukungan. Meski secara formal, publik tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan. Ini pelajaran penting bagi KIH dan Jokowi-JK.
“KIH juga terlalu percaya diri dengan dukungan PPP dan DPD yang sebenarnya belum teruji soliditasnya, karena mereka bukanlah mitra koalisi yg strategis, seperti PKB, Nasdem, dan Hanura,” katanya.
PDIP juga diam-diam menurutnya menghendaki voting setelah mendapat dukungan PPP dan DPD. Padahal gagasan untuk musyawarah mufakat semestinya tetap menjadi pilihan yang diutamakan.
“Setelah ada dukungan DPD dan PPP, KIH juga sama nafsunya untuk berkuasa seperti KMP,” katanya.
Menurutnya, kini, seusai pemilihan pimpinan DPR, DPD, dan MPR, kini saatnya para anggota legislatif bekerja dan publik akan mengawasi kinerja parlemen dalam membangun bangsa.
“Jangan pernah sedikitpun berniat dan bertindak mengembalikan iklim demokrasi yang sudah diraih. Apalagi berpikiran mengubah sistem pemilihan presiden dari langsung menjadi tidak langsung,” tegasnya.
DPD Retak
Sebelumnya mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Laode Ida mengatakan kemanangan KMP merebut pimpinan MPR sudah pasti tak bisa dilepaskan dengan retaknya modal politik di dalam DPD-RI.
“Pertama, karena tak sedikit anggota DPD yang merupakan bagian dari kekuatan KMP, termasuk secara ideologis dan atau jadi tim inti dalam kampanye pilpres mendukung Prabowo-Hatta,” ujarnya.
Menurutnya, ini juga tak bisa dilepaskan dengan risiko masuknya gerbong politisi jadi anggota DPD. Padahal sebenarnya original intentpembentukan DPD adalah untuk kekuatan penyeimbang bagi DPR yang beranggota politidi partisan ideologis.
“DPD diharapkan independen berbasis dan atau berjuang untuk kepentingan daerah, menetralisir kepentingan politisi partisan dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tingkat nasional,” ujarnya.
Original intent ini menurutnya diwujudkan dalam Undng-undang Pemilu tahun 2004 lalu, yang memastikan calon anggota DPD harus minimal 4 tahun bebas dari pengurus parpol.
“Tapi ketika para politisi partisan berniat masuk duduk jadi anggota DPD, maka klausul yang membatasi pun di revisi, sehingga DPD bisa diisi secara bebas oleh para politisi. DPD sebenarnya menguji materi UU Pemilu untuk tahun 2009 itu, tapi MK tak mengabulkannya. Ya…, jadinya seperti sekerang,” katanya.
Hal kedua menurut Laode Ida, DPD hanya memilih satu orang untu mewakilinya di pimpinan MPR. Sehingga berapa paket pun yang diajukan oleh fraksi-fraksi parpol di MPR, pasti hanya satu orang dari anggota DPD itu saja yang sudah pasti aman tersedia kursinya.
“Sehingga bagi anggota DPD, ya ….biar pun retak, kan sudah aman dapat jatah pimpinan. Cara ini memang agak konyol, karena seolah-olah solid padahal sebenarnya tanpa ikut memilih pun sudah pasti jatahnya satu orang itu. Aneh memang ini. Harusnya kan kalau hanya satu orang yang diusulkan, dan jika masih dianggap punya hak suara untuk memilih pimpinan MPR, maka tak boleh ada kepastian jatah kursi. Apalagi seperti dipraktikkan tadi malam, di mana pak Oesman Sapta calon Ketua dalam paket Koalisi Indonesia Hebat, ternyata ketika kalah justru masih masuk sbagai wakil ketua MPR gabung dalam KMP. Ini permainan apa?”. (Calvin G. Eben-Haezer)