JAKARTA – Setara Institute merilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2021 di Indonesia. Laporan tersebut menunjukkan IKT Cilegon menduduki peringkat 10 paling bawah atau tepatnya berada pada ranking 92 di atas Banda Aceh serta Depok. Padahal, polemik pembangunan gereja yang baru-baru ini mencuat belum terjadi.
“Ya di dua tahun terakhir selalu di peringkat 10 ke bawah, persisnya saya lupa di angka berapa. Nah tentu saja kalau kita dalami secara kualitatif, memang di kota Cilegon semua memenuhi syarat kurang konstruktif, untuk mencapai derajat kota toleran,” ujar Ismail Hasani Direktur Eksekutif Setara Institute kepada media, Minggu (25/9).
Ismail mengatakan, peringkat tersebut diperoleh dari hasil riset Indeks Kota Toleran tiap tahunnya. Laporan tersebut menempatkan empat variabel dan delapan indikator sebagai tolok ukur, salah satunya pernyataan pejabat kunci atau kepala daerah.
“Saya harus katakan kalau kita bandingkan dengan peringkat 10 teratas, Walikotanya tidak pernah mengeluarkan pernyataan terbuka yang tidak konstruktif, ini penting dicatat. Dalam riset kami, kita mengenalkan apa disebut condoning. Condoning itu satu pernyataan publik yang berpotensi menyulut peristiwa kekerasan. Karena dia posisi pejabat publik, maka dia tidak boleh mengatakan atau menyampaikan pernyataan seperti itu,” jelasnya.
Ismail menyesalkan sikap Walikota Cilegon Helldy Agustian yang akhirnya juga ikut memberi dukungan penolakan pembangunan rumah ibadah. Sejatinya sebagai pemimpin daerah, ia harus mampu melindungi hak seluruh masyarakat di wilayahnya.
“Ya satu peragaan kurang tepat bagi walikota, karena walikota pejabat publik. Pejabat publik harus bekerja melayani semua warga, lalu yang kedua di level sosial terjadi penolakan secara nyata, penolakan secara nyata yang ini menggambarkan regulasi sosial di Kota Cilegon kurang konstruktif kemajuan toleransi,” imbuhnya.
Selain sikap dan pernyataan Walikota Cilegon, Ismail juga menyoroti regulasi atau dasar penolakan gereja, karena adanya keputusan kepala daerah sebelum terpecah jadi Kota Cilegon. Dasar itu tidak jadi relevan lagi pada saat ini.
“Keputusan bupati di masa 1975 itu selain secara teoritik kehilangan validitas. Kenapa? Karena Kota Cilegon sudah terpisah. Itu terjadi Kota Cilegon belum terbentuk. Semestinya kalau itu mau diberlakukan, harus diadaptasi Walikota Cilegon itu sendiri, harus dia perbarui. Kalau kita sebut organ pembentuk, kehilangan validitas ya. Sudah kehilangan validitasnya, sekarang bukan Kabupaten Serang tapi Kota Cilegon,” paparnya.
Ismail katakan dalam situasi seperti ini, sejatinya Walikota harus mematuhi Peraturan Menteri Bersama (PMB) Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Kalau pun tetap ada penolakan, langkah yang bisa dilakukan dengan bersikap netral dan independen.
“Kalaupun tetap di tolak di PBM ini, ada kewajiban Walikota mencarikan tempat alternatif. Jadi ada kewajiban Walikota mencarikan tempat ibadah karena Walikota pelayan masyarakat. Kalau ada masyarakat membutuhkan dia harus penuhi. Apa yang harus dilakukan tidak menjadi bagian kelompok yang tidak berpihak atau kelompok yang menetang itu. Karena Walikota harus jadi wasit yang adil,” ujarnya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, Walikota Cilegon Helldy menegaskan bahwa tidak ada persoalan di Cilegon yang perlu dikhawatirkan. Ia mengungkapkan bahwa hingga saat ini, kondisi kota Cilegon masih berjalan seperti biasa.
Selain itu, pihaknya juga sudah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar di wilayah Cilegon untuk menyediakan sarana transportasi bagi warga yang ingin beribadah ke Kota Serang yan berjarak sekitar 20 kilometer. Kebijakan lain yang mencerminkan toleransi adalah penyediaan lahan pemakaman bagi seluruh antar umat beragama.
“Selama ini nggak ada masalah Cilegon ini. Intinya gitu. Cilegon ini menurut saya sangat toleran ya,” katanya. (Web Warouw)