Lebih lanjut Berry menyatakan, pola dan budaya politik yang saat ini terjadi mengingatkan kembali masyarakat Indonesia seperti apa kekejaman Rezim Orde Baru yang selama 32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto yang selalu menggunakan cara-cara fascis, intimidatif, manipulatif dan koruptif.
Ditempat yang sama, aktifis 1998 yang lain, Febby Lintang dengan tajam menyoroti pemegang tampuk kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terindikasi lemah dan tidak netral dalam menghadapi kecurangan-kecurangan yang telah terjadi dalam Pemilu 2014 kali ini.
“Selain lalai, negara juga abai terhadap temuan-temuan kecurangan tersebut. Maka, tidak salah jika ada yang mengatakan di Pilpres 2014 ini SBY diduga kuat tidak netral karena memiliki kepentingan untuk penyelamatan diri dan keluarganya,” ujarnya.
Satyo Komeng Purwanto menyatakan Pilpres 2014 telah membawa bangsa ini ke alam demokrasi yang semakin merusak tatanan nilai-nilai. Hanya karena rivalitas, fitnah terus dikembangkan demi menjatuhkan lawan main. Jika kondisi ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan kebangkitan orde baru dan fasisme tinggal menunggu waktu. Bentuk kecurangan yang dilakukan pasangan Capres No.1 merupakan noda besar dalam proses demokratisasi yang telah ditanamkan sejak Reformasi 1998.
”Pada gilirannya, secara alami terjadi pemilahan dengan garis demarkasi yang tegas antara yang pro militerisme dan fasisme dengan pro rakyat. Sehingga wacana pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto merupakan pengkhiatan terbesar bagi aktivis 1998 dan akan menjadi noda sejarah berikutnya,” ungkap Komeng. (Enrico N. Abdielli)