Jumat, 25 April 2025

AMERIKA DIAMBANG RESESI NIH..! Kata Sri Mulyani Dunia Berubah, Dolar AS Tak Dipercaya 100% Lagi

JAKARTA – Dolar Amerika Serikat yang selama ini dianggap para investor atau pelaku pasar keuangan sebagai aset aman, terutama saat ekonomi dunia tengah bergejolak maupun menuju krisis, kini teracuhkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, para investor bahkan tak lagi percaya 100% terhadap dolar AS. Tercermin dari terus merosotnya indeks dolar (DXY Index) saat terus naiknya volatility index (VIX Index).

DXY index adalah ukuran nilai dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya seperti euro, yen Jepang, maupun poundsterling Inggris. Sedangkan VIX Index adalah indikator global yang mengukur volatilitas pasar secara keseluruhan.

“Jadi kepercayaan 100% terhadap dolar juga mulai menurun sementara VIX Index meningkat,” kata Sri Mulyani dikutip Bergelora.com si Jakarta, Sabtu (12/4/2025).

Menurunnya kepercayaan investor secara global terhadap dolar AS juga diikuti dengan semakin tingginya kemungkinan Amerika Serikat terdorong ke jurang resesi.

Sri Mulyani mengatakan, dari berbagai perkiraan lembaga investasi dunia, kemungkinan resesi AS meningkat ke level 60%.

Makin tingginya potensi AS resesi terjadi seusai Presiden AS Donald Trump mengeluarkan kebijakan perang dagang terhadap semua negara, dengan menerapkan tarif perdagangan yang tinggi, seperti Indonesia terkena tarif retaliasi 32%.

JP Morgan, Goldman Scahs, semuanya mengatakan bahwa Amerika kemungkinan masuk ke resesi. Probabilitasnya sekarang naik ke 60% dari tadinya di bawah 50%,” tutur Sri Mulyani.

Di tengah tingginya risiko resesi Amerika Serikat, risiko resesi Indonesia justru kecil.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, probabilitas resesi yang dihadapi Indonesia dengan makin tak kondusifnya ekonomi global itu hanya sebesar 5%, sama dengan Malaysia. Jauh lebih rendah dari potensi resesi Jepang yang mencapai 30%, Meksiko 54%, Jerman 50%, Kanada 48%, dan Rusia 25%.

Probability risk recession meningkat, namun Indonesia masih relatif rendah di 5%,” kata Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (8/4/2025).

Risiko Resesi AS

Dilaporkan, para ekonom Wall Street mempertahankan perkiraan mereka bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan melambat tajam. Mereka juga memperingatkan risiko resesi masih tinggi meski Donald Trump memutuskan untuk menghentikan tarif resiprokal pada berbagai mitra dagang AS.

Morgan Stanley, BNP Paribas, RBC Capital Markets, Barclays Plc, dan UBS mengeluarkan proyeksi terbaru pada Kamis dan Jumat untuk produk domestik bruto (PDB) yang berkisar antara -0,1% hingga 0,6% pada tahun 2025, dan pertumbuhan 0,5% hingga 1,5% pada tahun 2026.

Mereka memperkirakan tingkat kemiskinan akan meningkat hingga hampir 5% tahun depan dan inflasi lebih tinggi pada kuartal-kuartal mendatang.

Pesimisme yang masih ada di antara para ekonom agak kontras dengan sinyal dari pasar saham, yang telah menguat sejak Presiden Donald Trump mengumumkan menunda tarif “timbal balik” untuk negara-negara mitra dagang AS selain Tiongkok selama 90 hari dan menaikkan bea masuk atas impor Tiongkok hingga 145%.

Menurut Bloomberg Economics, setelah bolak-balik pada hari Rabu, tarif rata-rata AS kurang lebih tetap sama, berkisar pada level tertinggi dalam lebih dari satu abad, dan hampir 24 poin persentase lebih tinggi daripada saat Trump menjabat.

“Akankah tarif dan pemanasan ini bertahan lama? Jika ya, maka kami akan mengisyaratkan resesi AS,” tulis Kepala Ekonom BMO Financial Group Douglas Porter pada Jumat dalam catatannya.

“Pada saat ini, kami masih condong ke serangkaian pertumbuhan PDB di bawah 1%.”

Bagi para ekonom, tarif tinggi untuk barang-barang Tiongkok secara kasar mengimbangi penangguhan bea masuk yang direncanakan pada negara-negara lain dalam hal dampaknya terhadap pungutan rata-rata tertimbang untuk semua impor AS, mengingat pentingnya Tiongkok sebagai salah satu mitra dagang terbesar AS.

Bloomberg Economics memperkirakan tarif rata-rata efektif untuk impor AS hanya berkurang menjadi sedikit 26,25% sebagai akibat dari tertundanya, dari 26,85%.

“Meski tarif tinggi Tiongkok akan mendorong transfer impor dari Tiongkok ke mitra dagang dengan tarif lebih rendah, kami pikir situasi saat ini masih menyiratkan tekanan stagflasi yang signifikan di AS,” kata para ekonom Barclays dalam catatan pada Jumat.

“Secara keseluruhan, kami mempertahankan pandangan kami, termasuk perkiraan kami bahwa AS akan mengalami resesi.” (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru