Oleh: Toga Tambunan*
KICK-OFF! Media massa tampilkan istilah merilis keterangsn Menko Polhukam 12 Juni 2023 dalam konsperensi pers di Kota Lhokseumawe, Aceh: “Pada 27 Juni 2023, Presiden akan mengumumkan apa yang telah diselesaikan pemerintah terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu. Akan dilakukan kick off di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie,”
Kick-off itu istilah di persebakbolaan. Artinya tendangan bola pertama.
Kepada siapa sih bola itu ditendang Presiden Joko Widodo?
Sebelum acara kick-off itu kutanya seorang anaknya penyintas kasus pelanggaran ham berat 65-67. Gimana tanggapannya atas beberapa program pemerintah yang disebut Menko Polhukam Mahmud MD.
Hanya satu kalimat datar nuansa skeptis, jawabannya : “Lihat nanti realisasi konkrit saja”
Kick-off itu yang telah diselenggarakan 27 Juni
2023 lalu. Anehnya Rumoh Geudong itu ternyata dibongkar dengan alasan kabarnya memperluas halaman lokasi penyelenggaraan acara itu. Padahal pemberintah memprogram perlunya memorabel untuk peringatkan kebengisan HAM seperti sudah dialami, tidak berulang lagi di masa akan datang.
Kendati sifat agenda simbolik, acara pemulihan hak korban peristiwa pelanggaran ham berat itu, apakah sudah sanggup memulihkan martabat sekalipun hanya kompensasi non-yudisial sektor materil saja? Belum lagi martabat sektor psikologi.
Penyelenggaraan terhadap pemenang kontes idola penyanyi di TV meriah diterangi kilauan beragam cahaya. Begitu pula event menyambut atlet usai berlaga tampil di panggung juara, bukan di tempat biasa.
Mereka bertarung merebut peringkat teratas prestasi. Hal itu pun teramat berat dan sukar dicapai. Selayaknya memang patut disanjung terhormat kebanggaan negara dan bangsa
Jika terhadap mereka merebut prestasi layak disambut sepatutnya, terlebih lagi atas penyintasi dunia kematian.
Para korban itu bertarung menyintasi terkaman singa buas pemangsa kehidupan, ataupun setidaknya pemangsa kemanusiaan, penyebabkan kehilangan hak sipil dan harkat kemanusiaan.
Jika lolos dari eksekusi mati, berlanjut dikremus mulut singa. Jika lolos dari jepitan mulut singa, korban disiksa ditahan paksa bertahun-tahun. Bahkan ada hingga 14 tahun bgt. Selama itu, tidak disekap di bui, korban itu diperas di kamp kerja paksa.
Korban itu bukannya penderita tikaman siksa umumnya dialami kriminal. Melainkan penyiksaan atas kemanusiaan jika tidak kehilangan nyawa. Tersiksa kehilangan kesempatan hidup produktif, kehilangan pendidikan, kehilangan keluarga, kehilangan kegembiraan, kehilangan selera, kehilangan berinteraksi, kehilangan hubungan seks, kehilangan berkreasi, kehilangan berbudaya serta kehilangan menikmati budaya, kehilangan cita-cita masa depan, kehilangan bertumbuh maju, kehilangan wisata, kehilangan masa muda, kehilangan usia, kehilangan alam tidur, kehilangan peluang ke teolet, kehilangan melihat matahari terbit atau terbenam, dan banyak lagi kehilangan lain, sebagaimana umumnya sewajarnya dimiliki manusia.
Acara terselenggara di Rumah Geudong itu indikator dan fakta orisinil kualitas interprestasi para elite yang dipilih masuk Tim PPHAM itu, tentang perihal kehidupan maupun harkat kemanusiaan.
Dari acara penyelenggaraan itu, rupanya kehidupan maupun harkat kemanusiaan bagi Tim PPHAM hanya setara perlombaan tingkat kota mencatat prestasi aktivitas seni dan olaraga saja maka acara berlangsung seadanya begitu saja adanya.
Kreasi acara itu menunjukan kemiskinan simpati dan kemiskinan empati, akal budi mereka amat tipis dan kering. Padahal mereka sudah makan kenyang bergerbong-gerbong ilmu dan pengetahuan.
Masyarakat umum tahu kualitas akalbudi anggota Tim PPHAM berbeda-beda. Mereka yang berakal budi buruk tanpa simpati tanpa empati, tapi penangkal banyak program baik bagi korban, masyarakat tahu berkat membaca track record riwayat pandangan sospol bersangkutan.
Fakta empiris ini mengingatkan warga semua korban pelanggaran ham berat masa lalu serta semua warga berakal sehat, waspada terhadap oknum penggusur banyak kebijakan bernas program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu Pemerintah itu.
Betapa pun demikian hasil tahap akhir Tim PPHAM, hendaknya para korban pelanggaraan ham berat itu, tetaplah menyambutnya positip.
Kepada anggota Tim PPHAM yang diduga pendiriannya reaksioner, hendaknya dimaafkan, dan serahkan perihalnya diurus Allah.
Pantaslah anaknya korban pelanggaran ham berat yang kusebut diatas, menjawab pertanyaanku, cuma dengan satu kalimat datar nuansa skeptis : “Lihat nanti realisasi konkrit saja”
Setelah mengetahui kick-off sudah dilakukan, kuduga dia tetap skeptis, meragukan program sederhana yang diumumkan itu akan direalisasi.
Tidak berselang lama setelah eksekusi kick-off dimaksud, presiden Joko Widodo mencetuskan unek-uneknya bahwa amat berat mengerjakan penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat itu. Bagaimana pula rintangannya terhadap penyelesaian yudisial? Padahal sudah ada UU no 20/2000 instrumen hukum penyelesaikannya dengan melaksanaan pengadilan atas pelanggaran ham berat. Semestinya mekanisme yudisial lebih cepat dan ringan, terlebih lagi dengan dekrit, meski dibarengi suasana tegang.
Programnya macet atau tersendat, presiden Joko Widodo pasti sudah menduga dan cari tahu oknum penjegal di lingkaran dekatnya.
Apakah tendangan bola kick-off itu simbolik ditujukan mengenai oknum tersebut, maka menyelenggarakannya di Aceh, lokasi Jess Melvin menemukan dokumen rahasia rezim militeris Soeharto?
Selama ada orang pembangkang kebijakan di lingkarannya, pasti berdampak atas kinerja Presiden Joko Widodo. Buktinya acara pemulihan hak para korban yang baru terselenggara kemarin di Aceh, setingkat acara penutupan lomba seni & olahraga kota. Janji kampanye pilpres Joko Widodo tentang penyelesaian HAM, pasti tidak bisa dituntaskan tunai.
Kurang lebih setahun lagi Joko Widodo menjabat kursi nomor satu RI yang menurut beliau menyandangnya tanpa beban. Apakah gerangan masih ada langkah penyempurnaan?
Bekasi, 29.06.2023
*Penulis Toga Tambunan, pengamat sosial politik