JAKARTA- Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mendesak Presiden Joko Widodo menunda integrasi pekerja formal ke dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Presiden juga diminta segera merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No 111/2013 yang memerintahkan integrasi buruh dan pekerja formal pada 1 Januari 2015. Hal ini disampaik oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi B Sukamdani saat menerima Aliansi Masyarakat Anti Liberalisasi (AMAL) di Jakarta, Senin (5/1).
“Kami minta presiden merevisi prepres 111/2013 agar bisa diundur sampai 6 bulan. Pengusaha bisa mendaftarkan buruhnya ke BPJS tapi belum bayar dulu. Sampai setelah beres, 6 bulan kemudian bisa bayar dan aktivasi. Sementara saat ini kesehatan buruh dan pekerja masih ditangani oleh perusahaan langsung atau perusahaan asuransi lain. Untuk penundaan ini kami meminta fatwa dari Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Perpres No 111/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presdein Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan yang ditanda tangani Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono itu mengatakan pada :
Pasal 16C (1) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah selain Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B ayat (1) yang dibayarkan mulai tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 30 Juni 2015 sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan: a. 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan b. 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh Peserta.
Pasal 16C (2) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibayarkan mulai tanggal 1 Juli 2015 sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan: a. 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan b. 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.
Selama penundaan itu, Apindo meminta agar BPJS segera melakukan koordinasi manfaat (Coordinating of Benefit) yang memastikan kualitas pelayanan kesehatan pada buruh dan pekerja yang diberikan BPJS akan lebih baik atau setidaknya sama dengan yang sebelumnya pernah di dapat lewat Jamsostek atau yang swakelola oleh perusahaan.
“Buruh dan pekerja harus mendapat benefit yang lebih baik dari yang sudah diterima oleh rakyat peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah. Karena pekerja dan buruh pasti akan menolak kalau pelayanannya sama buruknya dengan yang diterima peserta PBI,” ujarnya.
Hariyadi B Sukamdani mengingatkan bahwa saat ini sektor formal semakin menyusut tapi semakin terbebani dengan adanya BPJS yang pelayanannya buruk.
“Kalau sudah dimasukkan ke dalam BPJS, maka dalam perundingan PKB pihak pekerja dan buruh pasti tuntutannya setara atau lebih baik dari yang sudah berjalan saat ini. Hal ini harus ada kepastian dari BPJS. Kalau tidak, pengusaha tidak akan berani,” ujarnya.
Diskriminatif Atau Mlorot?
Sementara itu anggota AMAL, Roy Pangharapan menanyakan apakah maksud dari koordinasi manfaat (coordinating Benefit) itu berarti pelayanan kesehatan pada buruh dan pekerja harus dibedakan dari peserta dari penerima bantuan iuran (PBI) yang selama ini dikeluhkan sangat buruk.
“Kalau itu terjadi maka BPJS dan negara semakin diskriminatif dalam pelayanan kesehatan. Itu bertentangan dengan UUD’45 dan Undang-undang Kesehatan,” ujar Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jabodebek ini.
Kalau yang sesuai dengan undang-undang menurut Roy Pangharapan adalah kualitas pelayanan kesehatan yang dibayar oleh BPJS ditingkatkan setidaknya sama dengan yang didapat oleh buruh lewat Jamsostek atau PNS/POLRI seperti Askes dulu.
“Artinya penyesuaian itu progresif bukan malah diskriminatif atau malah mlorot. Dan semua itu sesuai dengan perintah UUD’45 yaitu dijamin oleh negara. Artinya seluruh rakyat, semua pelayanan kesehatannya dibayar pakai APBN. Bukan seperti sekarang, dipungut dari uang rakyat dan potongan gaji buruh, PNS dan prajurit. Ini yang bertentangan dengan konstitusi koq malah dilaksanakan” ujarnya.
Roy Pangharapan mengingatkan bahwa sebelum BPJS, Sistim Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) bisa membebaskan biaya kesehatan 76,4 Juta masyarakat dengan dana Rp 5 Triliun dari APBN.
“Kalau untuk menjamin seluruh rakyat tinggal dikali empat baru Rp 20 Triliun. Kan yang sakit gak langsung seluruh rakyat. Waktu Jamkesmas, uang tidak hilang karena ada di tangan kas negara. Gitu koq pemerintah mau susah pakai bikin BPJS seperti sekarang. Korbannya rakyat dan buruh,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa saat ini BPJS bikin peraturan baru yang mengatur agar aktivasi kartu baru bisa berlaku setelah 7 hari dari pendaftaran. BPJS juga mengatur kalau mendaftar BPJS, peserta diwajibkan punya rekening bank. Mendaftar menjadi peserta BPJS harus mendaftarkan juga seluruh anggota keluarga dalam kartu keluarga. BPJS juga meminta pembayaran untuk 6 bulan kedepan.
“Jadi bisa dibayangkan kalau seorang buruh sakit masuk UGD saat ini dalam keadaan tidak punya uang dan juga tidak ditanggung perusahaan. BPJS belum punya, maka ia harus mendaftar. Oleh BPJS diminta bikin nomor rekening bank dan mendaftarkan dan membayar seluruh anggota keluarganya yang 4 orang. Pembayaran juga untuk 6 bulan ke depan. Setelah kartu jadi, baru bisa aktif dipakai minggu depan. Terpaksa si buruh cari pinjaman dulu. Apa seperti ini pemerintah dan BPJS menjamin kesehatan rakyat kita?” ujarnya. (Web Warouw)