JAKARTA – Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S. Djojohadikusumo mengatakan bahwa Just Energy Transition Partnership (JETP) merupakan program gagal. Terlebih, kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS telah mengubah kebijakan di sektor energi global.
Hashim mengatakan bahwa ancaman Trump untuk menarik diri dari berbagai Perjanjian Iklim telah terjadi.
Hal tersebut tentunya juga akan berdampak pada program pendanaan JETP untuk Indonesia senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun.
Bahkan Hashim mengungkapkan bahwa selama dua tahun berjalan, tidak ada satu dolar pun yang dikucurkan oleh pemerintah AS untuk program ini.
“Saya ketemu utusan khusus AS namanya John, JETP itu program gagal, 2 tahun berjalan tidak 1 dolar pun dikucurkan oleh pemerintah AS banyak omon-omon ternyata itu ada klausul US$ 5 miliar akan dihibahkan apabila dana tersedia ternyata mohon maaf tidak tersedia,” kata Hashim dalam acara CNBC Indonesia ESG Sustainability Forum 2025, Jumat (31/1/2025).
Oleh sebab itu, ia pun menekankan bahwa masyarakat tidak perlu lagi berharap pada pendanaan JETP. Mengingat, salah satu negara yang meng-inisiasi program ini saja telah mundur dari perjanjian iklim.
“Ini realita so ini saya kira jangan harapkan deh 20 miliar dollar,” kata dia.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sebagai informasi, kemitraan JETP merupakan inisiatif pendanaan transisi energi senilai lebih dari US$ 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun yang disepakati antara Indonesia dan negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG). IPG terdiri atas pemerintah Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia dan Inggris Raya.
Pembiayaan JETP Pindah dari AS ke Jerman
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, keputusan Amerika Serikat (AS) keluar dari Perjanjian Iklim Paris berdampak pada posisi leader atau pemimpin dalam proyek Pendanaan Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP).
Menurut Kepala Sekretariat JETP Indonesia Paul Butar-butar, saat ini Jerman telah disepakati akan menggantikan posisi AS sebagai pemimpin dalam proyek pendanaan tersebut.
“Co-lead susah disepakati akan berpindah dari US ke Jerman, bersama dengan Jepang,” ungkap dia saat dikonfirmasi, Rabu (29/1).
Asal tahu saja, sebelumnya, selain Amerika Serikat, pimpinan dalam pendanaan JETP ini adalah Jepang, dengan anggota Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Norwegia, Prancis, dan Uni Eropa. Semua negara-negara tersebut tergabung dalam International Partners Group (IPG).
Melalui JETP Indonesia, sebelumnya telah disepakati pendanaan publik dan swasta senilai US$ 20 miliar guna mendukung transisi energi yang adil di Indonesia.
Adapun terkait pendanaan, Paul bilang cabutnya AS dari perjanjian iklim Paris tidak akan berdampak pada kelanjutan pendanaan tahun ini.
“Tidak berdampak, karena janji US untuk menyediakan guarante sebesar US$ 1 miliar sudah ditandatangani dengan bank dunia. Jadi Indonesia sudah bisa pakai pinjaman itu untuk transisi energi. Tergantung pemerintah pinjaman itu mau di pake untuk apa,” jelasnya.
Yang terbaru, Paul bilang saat ini JETP Indonesia sedang melakukan tahap finalisasi pendanaan dari U.S.
International Development Finance Corporation (DFC) atau Bank Pembangunan Amerika untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen yang dimiliki oleh Medco Energi dan terletak di Blawan Ijen, Jawa Timur.
“Tahap finalisasi pinjaman DFC untuk PLTP Ijen sebesar US$ 126 juta,” tambahnya.
Selain dana JETP yang sudah disetujui mencapai US$ 1 miliar, Paul bilang pihaknya tengah menggenjot agar nilai pinjaman naik hingga US$ 6 miliar.
Sayangnya saat ditanya mengenai besar bunga pinjaman, Paul bilang besarannya hanya diketaui oleh pihak bank yang melakukan pinjaman dan si peminjam.
“Kami tidak tau bunganya, karena informasi ini hanya diketahui oleh bank dan peminjam. Tapi yang pasti bunga lebih murah dari bunga komersial,” tutupnya. (Calvin G. Eben-Haezer)