JAKARTA — Setara Institute menolak revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Mereka menilai revisi itu memutarbalikkan reformasi.
Setara menyoroti perubahan pasal 39 yang menghapus larangan berbisnis untuk prajurit TNI. Mereka juga menyoroti pasal 47 yang memperluas kewenangan prajurit TNI duduk di jabatan sipil.
“Usulan perubahan pada dua pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat,” kata Setara Institute dalam keterangan tertulis, Minggu (14/7).
Setara tak sepakat dengan alasan yang menyebut pasal itu dihapus karena banyak prajurit yang membantu keluarganya bisnis di warung. Setara menilai alasan itu tak tepat.
Menurut mereka, penghapusan larangan justru membuka pintu bagi pelibatan TNI dalam bisnis. Mereka khawatir hal itu membuat TNI menjadi tak profesional.
“Justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi beking sebuah entitas bisnis,” ujar Setara.
Terkait perluasan jabatan publik untuk TNI, Setara menyebut bentuk dwifungsi TNI. Hal itu sebenarnya sudah berusaha dihapus melalui reformasi.
“Meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer,” tulis Setara.
Mereka menambahkan, “Dampak jangka panjangnya menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum.
Akan Picu Konflik Kepentingan
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai usulan supaya prajurit aktif diperbolehkan terlibat kegiatan bisnis akan memicu konflik kepentingan.
Hal itu disampaikan Fahmi merespons usulan Markas Besar TNI agar menghapus Pasal 39 huruf c Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 39 huruf c UU TNI tersebut mengatur larangan prajurit terlibat kegiatan bisnis.
“Keterlibatan dalam bisnis bisa menghadirkan konflik kepentingan, di mana kebijakan, keputusan dan langkah TNI berpeluang dipengaruhi oleh kepentingan bisnis daripada kepentingan nasional,” ujar Fahmi, Sabtu (13/7/2024).
Fahmi juga mengatakan, keterlibatan prajurit dalam kegiatan bisnis bisa mengalihkan bahkan memecah perhatian dan sumber daya dari tugas pokok mereka.
Karena itu, untuk memastikan profesionalisme, pemeliharaan kemampuan dan efisiensi, TNI dinilai perlu fokus pada fungsinya sebagai komponen utama pertahanan.
Selain itu, keterlibatan prajurit dalam kegiatan bisnis dikhawatirkan akan memunculkan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Keterlibatan dalam kegiatan bisnis faktanya telah membuka peluang terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang justru dapat merusak citra, integritas dan kepercayaan publik pada TNI,” tegas Fahmi.
Yang tak kalah mengkhawatirkan, Fahmi menyebutkan, keterlibatan prajurit dalam kegiatan bisnis bisa menghadirkan risiko penggunaan informasi dan sumber daya strategis untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Hal ini pun dianggap membahayakan keamanan nasional.
Untuk itu, Fahmi menyatakan bahwa regulasi yang melarang prajurit terlibat bisnis bukanlah kebijakan yang asal-asalan dan tidak didasarkan pada kajian mendalam terkait seluruh aspek. “Kebijakan itu memang harus diambil dalam rangka menjaga profesionalisme, integritas, dan efektivitas TNI dalam menjalankan tugas utamanya sebagai penjaga keamanan dan pertahanan negara,” kata Fahmi.
Diberitakan, TNI mengusulkan supaya prajurit aktif diperbolehkan terlibat di dalam kegiatan bisnis lewat revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Berdasarkan Pasal 39 huruf c UU TNI, prajurit aktif dilarang terlibat kegiatan bisnis. Untuk itu, TNI mengusulkan agar pasal tersebut dihapus.
Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro beralasan bahwa seharusnya yang dilarang berkegiatan bisnis adalah institusi TNI, bukan prajurit TNI.
“Kita sarankan ini (Pasal 39 UU TNI huruf c) dibuang, mestinya yang dilarang adalah institusi TNI untuk berbisnis. Tapi kalau prajurit, orang mau buka warung aja endak (enggak boleh),” ujar Kresno dalam acara “Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri” yang diselenggarakan Kemenko Polhukam di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2024) sore, dikutip dari Youtube Kemenko Polhukam.
Sebelumnya, revisi UU TNI bergulir di DPR. Kritik bermunculan dari berbagai kalangan, terutama terhadap pengembalian dwifungsi TNI.
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto membantah pembangkitan kembali dwifungsi TNI. Dia berkata peran TNI di politik seperti di Orde Baru tak akan terulang lagi.
“Dalam pembahasan nanti tidak akan masuk ke norma-norma [dwi fungsi] itu. Isinya juga,” ungkap Hadi usai acara ‘Dengar Pendapat Publik Terkait RUU Polri dan TNI’ di Hotel Borobudur Jakarta, Kamis (11/7).
“TNI tak punya wakil di DPR. Sudah tak ada lagi dwi fungsi. Itu masa lalu bagian dari perjalanan sejarah,” ucapnya. (Web Warouw)