JAKARTA- Mantan Asisten Teritorial Kepala Staff Angkatan Darat, Myjen (Purn) Saurip Kadi meminta masyarakat agar jangan terburu-buru memberikan cap Prabowo Subianto sebagai pelanggar Hak Azasi Manusia (HAM) sebelum ada vonis Pengadilan HAM.
“Maka bicaralah sebatas fakta saja. Dari investigasi DKP juga sudah diketahui, lebih dari itu sudah diakui dan bahkan tanggung jawab atas penculikan diambil alih oleh Pak Prabowo,” demikian ujarnya kepada Bergelora.com, di Jakarta Jumat (27/6).
Dalam debat capres beberapa waktu lalu menurutnya, Prabowo Subianto sudah menyiratkan bahwa penculikan dilakukan atas perintah atasan. Maka Mantan Pangab, Jenderal (Purn) Wiranto wajib mengklarifikasi.
“Mengandai Prabowo betul mendapat perintah dari Pangti Presiden Soeharto yang kebetulan mertuanya, maka wajib hukumnya bagi pak Prabowo untuk lapor atasan langsungnya yaitu Wiranto.
Keadaan saat itu menurut deklarator Gerakan Renaissance Indonesia ini, tidak memungkinkan Pangab mengambil sikap lain.
“Lebih dari itu bisa jadi mengorbankan kepentingan keamanan san kepentingan nasional saat itu. Keberanian memberhentikan menantu pak Harto kiranya patut diacungi jempol. Walau belum diadili namun, bagi TNI yang menganut azas supremasi militer dalam keadaan tertentu hukum harus dikesampingkan sementara, demi kepentingan yang lebih besar,” tegasnya.
Sebelumnya disela apel siaga FKPPI se Jawa Timur, 24 Juni 2014 di lapangan upacara Makodam V/Brawijaya Surabaya, Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi meminta publik memaklumi komentar miring sejumlah tokoh politik.
Menurutnya, mereka belum membaca Undang-undang NO. 2 / 1988 Tentang Prajurit ABRI khususnya Pasal 38 yang berbunyi (1) Prajurit diberhentikan tidak dengan hormat, karena mempunyai tabiat dan yang nyata-nyata dapat merugikan. (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap perwira dilaksanakan setelah mempertimbangkan pendapat Dewan Kehormatan Perwira.
“Sikap yang sama juga harus diberikan kepada purnawirawan TNI yang sudah udzur sehingga banyak lupanya maklum memori sudah banyak error, bahwa yang dikerjakan Jenderal TNI selaku Pangab adalah kewenangan yang sah dan didasarkan pada Undang-undang,” ujarnya.
Kebijakan Pangab tersebut menurutnya juga sama sekali tidak menyalahi Keputusan Pangab Tahun 1995 yang mengatur DKP bagi prajurit yang telah dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Militer.
Supremasi Militer
Tegasnya, dua kebijakan tersebut adalah 2 hal yang berbeda missi dan kepentingannya. DKP yang manapun menurut Saurip Kadi, bukan bagian dari sistem hukum militer, tapi alat bagi Pimpinan TNI untuk mengetahui sebenar-sebenarnya atas pelanggaran etika prajurit yang diduga melanggar etik moral keprajuritan.
“Apalagi dalam supremasi militer, perintah adalah hukum tertinggi. Tanpa dasar Undang-undang No 2/1988 pun kebijakan kedua Pangab tersebut adalah sah.Lagi pula tidak ada larangan dalam undang-undang manapun bagi Pangab untuk membentuk dewan tersebut,” ujarnya.
Perihal sikap Pangab saat itu, selaku mantan Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum Kasad dan kemudian Staf Ahli bidang khusus saat Kasad dan Menhankam dijabat pak Wiranto, Saurip meyakini bahwa siapapun yang jadi Pangab saat itu, ditengah tuntutan publik begitu gencar dan situasi negara dalam keadaan tidak stabil niscaya akan melakukan hal yang sama, yaitu membentuk tim investigasi. Bila tidak, artinya ia tahu dan patut diduga terlibat penculikan itu sendiri.
Sebagai pelopor reformasi internal ABRI, Saurip juga mengingat jajaran TNI agar tidak terpengaruh kegaduhan para seniornya sehingga dalam bentuk apapun tidak juga memberi komentar.
“Sebagai pengawal demokrasi, TNI harus menjaga netralitas sambil mempersiapkan diri kalau-kalau keadaan terburuk menimpa bangsa ini gara-gara kegagalan Pemilu. Karena hanya TNI lah yang bisa menyelamatkan negeri ini ketika kaum sipil gagal dalam berdemokrasi. Saat damai mari kita persiapkan perang,” ujarnya. (Tiara Hidup)