KARAWANG- Sebagaimana halnya di Pengadilan Negeri Karawang, Kapolres terdahulu tidak membenarkan eksekusi dilakukan pada tanah milik petani di desa Wanasari, Wanakerta dan Margamulya, Karawang, Jawa Barat. Namun pada saat yang hampir bersamaan beberapa pekan saja AKBP Daddi Hartadi memimpin Kepolisian Resort Karawang, eksekusi dilangsungkan. Polda Jabar telah melakukan kebohongan publik dengan mengatakan dilahan konflik tidak ada rakyat penghuni. Demikian Ketua Umum Serikat Petani Karawang (Sepetak) Hilal Tamami kepada Bergelora.com di Karawang, Jumat (27/6).
“Yang sangat mengiris hati kaum tani, Kapolres dan Kapolda mengatakan bahwa di atas tanah 350 hektar yang berperkara tidak ada masyarakat penghuni.
Parahnya lagi, kapolres menyatakan bahwa yang aksi menolak eksekusi bukanlah petani, tapi mereka unsur oknum LSM yang memanfaatkan situasi. Dalam melancarkan eksekusi tak tanggung-tanggung ribuan brimob, Sabhara dan dalmas diturunkan dengan alasan pengamanan. Namun pada pelaksanaan di lapangan yang menjadi pemandangan publik adalah tindak represif, penganiayaan sampai penembakan,” ujarnya.
Guna melindungi nama baiknya menurutnya dibeberapa media, Polda menyampaikan pernyataannya bahwa konflik ini bukan konflik antara Agung Podomoro Land dengan petani, tapi konflik antara pengusaha dengan pengusaha.
“Padahal, polda sendiri pernah melakukan pemanggilan kepada para petani yang berperkara untuk di kriminalisasi. Kalau memang benar pernyataan Polda Jabar tersebut, mengapa yang dipanggil itu petani, bukan pengusaha seperti yang dituduhkannya? Bahkan jelas PK yang dimenangkan PT. SAMP yang berperkara adalah 49 petani sebagai penggugat dengan PT. SAMP sebagai tergugat,” tegasnya.
Tanah yang telah kuasai, dikelola dan dimanfaatkan oleh para petani secara turun temurun selama berpuluh-puluh tahun adalah merupakan kehendak UUD 1945 pasal 33 yang diturunkan melalui UUPA no 5 tahun 1960. Dimana petani sebagai tenaga produktif memiliki hak yang penuh atas tanah bagi kesejahteraan hidupnya.
Adapun penguasaan fisik tanah yang dilengkapi oleh bukti kepemilikan berupa girik/leter C dan ketaatan membayar Pajak Bumi dan Bangunan kepada Negara. Namun kini tanah itu harus jatuh ke pangkuan PT. SAMP yang secara penuh diakuisisi oleh Kompeni Agung Podomoro melalui perampasan yang dalam tindakannya menyertakan kejaksaan, Pengadilan dan ribuan aparat kepolisian.
Saat jalannya eksekusi, massa yang menghadang pasukan Brimob meminta Kapolres Karawang menunjukan bukti kepemilikan PT. SAMP dan menunjukan batas-batas tanah, Kapolres tidak bisa membuktikannya. Malah, jawaban atas pertanyaan massa adalah berupa semprotan water cannon dan pentungan kepada massa petani dan massa yang bersolidaritas.
“Kebenaran, kemanusiaan dan keadilan yang sesuai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia telah diinjak-injak oleh Aparat kepolisian dan Pengadilan sesat didalam eksekusi,” demikian Hilal. (Muhamad Mustofa Bisry)