KARAWANG- Rakyat tiga desa, Wanasari, Wana Kerta dan Margamulya di Karawang Jawa Barat menuntut pemerintah mengembalikan tanah seluas 350 hektar yang telah diduduki oleh aparat Kepolisian dan Preman di Karawang, saat eksekusi beberapa waktu lalu.
“Hingga saat ini tak satupun bukti kepemilikan atas tanah tersebut dimiliki oleh PT. SAMP. Justru yang selalu disucikan oleh PT. SAMP dihadapan pengadilan adalah bukti berupa Surat Pelepasan Hak dan Peta global yang dikeluarkan BPN Kanwil Jawa Barat. Keduanya telah terbukti palsu,” demikian Ketua Serikat Petani Karawang (Sepetak), Hilal Tamami kepada Bergelora.com, Jumat (27/6).
Menurutnya kedua bukti palsu itu sudah lama ada di kepolisian Karawang. Kepolisian Karawang telah menetapkan Direktur PT. SAMP Irawan Cahyadi sebagai tersangka.
“Namun ini tidak pernah diungkap. Sebaliknya Putusan Pengadilan Negeri Karawang mengubah putusan putusan pengadilan memenangkan PT. SAMP pada perkara tersebut,” ujarnya.
Tidak cukup dengan peradilan hitam ia menjelaskan, sepanjang berlangsungnya konflik, PT. SAMP tak henti-hentinya melakukan tindakan kriminalisasi terhadap para petani dengan tuduhan menyerobot tanah. Namun tak satupun terbukti bersalah sebagaimana yang dituduhkan. Yang terakhir korban kriminalisasi ialah Ratna Ningrum (mantan Kades Margamulya) yang dituduh melakukan pemalsuan salinan surat C desa.
“Padahal tuduhan itu sama sekali tidak terbukti. Justru rekayasa hitam kembali dilakukan oleh kejaksaan dalam surat tuntutan. Anehnya lagi pengadilan tetap memvonis Ratna Ningrum bersalah dengan kurungan 6 bulan penjara,” ungkapnya.
Ia memaparkan, disamping peradilan hitam dan kriminalisasi yang sering dilakukan oleh PT. SAMP¸ kekerasan pun tak jarang menimpa para petani.
“Yang sulit diterima akal sehat, kekerasan dilakukan oleh preman bayaran yang didukung oleh aparat,” tegasnya.
Peradilan Hitam
Ketua Pengadilan Negeri Karawang menurut Hilal sebelumnya menyatakan putusan PK Nomor 160 PK/PDT/2011 yang memenangkan PT. SAMP tidak bisa ditindak lanjuti dengan eksekusi. Ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain, adanya tumpang tindih putusan di atas tanah berperkara tersebut, tidak memiliki batas tanah serta terdapat tanah yang bersertifikat di atas tanah yang diklaim PT. SAMP.
“Namun saat PN Karawang dipimpin oleh Marsudin Nainggolan, dua pekan dia menjabat sudah mengeluarkan surat anmaning/teguran terhadap pihak yang kalah. Ia memutudkan dilaksanakan eksekusi dan para petani yang dikalahkan dalam peradilan hitam agar secara suka rela segera meninggalkan tanah kelahirannya dengan uang kerohiman sebesar Rp. 4.000/meter. Marsudin Nainggolan berdalih bahwa dia hanya bertugas menjalankan putusan bukan pada kapasitas mengkaji putusan,” paparnya. (Muhamad Mustofa Bisry)