JAKARTA – Ekspor dan impor Indonesia diperkirakan tumbuh positif pada April, dengan laju yang lebih cepat ketimbang Maret. Surplus neraca perdagangan diproyeksikan masih terjaga, meski kemungkinan lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode April pada esok hari, Kamis (15/5/2025).
Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg hingga Rabu (14/5/2025) siang dengan melibatkan 17 institusi memperkirakan ekspor April tumbuh 5,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).
Jika terwujud, maka lebih tinggi dibandingkan Maret yang naik 3,15% yoy.
Sementara impor pada April diperkirakan tumbuh 6,54% yoy. Juga lebih tinggi ketimbang Maret dengan pertumbuhan 5,34% yoy.
Dapat dimaklumi, karena Maret bertepatan dengan Ramadan. Tahun ini, Ramadan jatuh sepenuhnya pada Maret tanpa terbagi dengan bulan-bulan lainnya.
Saat Ramadan, jam kerja menjadi lebih singkat. Hari kerja juga berkurang karena ada libur yang cukup panjang.
Ini menyebabkan aktivitas ekspor-impor menjadi kurang semarak. Ketika Ramadan-Idul Fitri berlalu, aktivitas menjadi normal sehingga ekspor-impor bisa tumbuh lebih kencang.
Neraca Perdagangan
Sementara itu, konsensus Bloomberg menghasilkan median proyeksi untuk neraca perdagangan April surplus US$ 2,73 miliar. Jika terwujud, maka lebih rendah dari posisi Maret yang surplus US$ 4,33 miliar.
Akan tetapi, surplus perdagangan pada April akan membuat neraca perdagangan Indonesia selalu positif selama 60 bulan beruntun. Artinya, surplus neraca perdagangan tidak putus dalam 5 tahun terakhir.
Ke depan, surplus neraca perdagangan diperkirakan masih bisa terjaga. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump menunda pemberlakuan tarif bea masuk impor resiprokal selama 90 hari.
“(Neraca perdagangan) masih berpotensi melanjutkan surplus, khususnya bagi para eksportir yang cenderung mengejar masa tenggang ini,” ujar Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalia Situmorang kepada Bloomberg Technoz, belum lama ini.
Akan tetapi, Hosianna menilai surplus perdagangan berisiko makin menyempit. Kebijakan tarif dari AS masih menjadi ketidakpastian dan berisiko menekan permintaan ekspor.
Di sisi lain, rencana peningkatan impor dari AS—termasuk pangan, energi, dan manufaktur strategis—diperkirakan menambah tekanan sekitar US$ 125–170 juta per bulan.
Hosianna menilai, selama harga komoditas ekspor stabil dan nilai tukar rupiah terkendali, maka potensi surplus masih bisa dipertahankan. Namun tekanan diperkirakan dapat meningkat tanpa penguatan hilirisasi, diversifikasi ekspor, dan pengendalian impor. (Enrico N. Abdielli)