JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mendapat mandat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam pengelolaan sektor ESDM. Termasuk salah satunya untuk masalah perizinan.
“Tuntutan perintah dari Pak Presiden Jokowi itu bukan saya baru belajar, di ESDM harus tancap gas karena saya melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh pemimpin terdahulu Pak Arifin yang sudah baik saya lanjutkan, tapi kalau yang belum maka kita melakukan perbaikan,” kata Bahlil dalam keterangan resminya, Sabtu (28/9/2024).
Bahlil mengatakan perusahaan yang ingin melakukan eksplorasi di sektor minyak dan gas (migas) butuh 300 izin. Menurutnya hal ini menimbulkan ketidakefektifan dan perlu dilakukan penataan percepatan perizinan.
“Bayangkan kalau (mengurus) izinnya satu izin satu hari, satu tahun baru urus izin. Kalau satu izin bisa selesa dalam tiga hari, berarti 3 tahun hanya buat (mengurus) izin. Jadi bayangkan ke ketidakefektifan kita terhadap usaha hulu migas,” jelasnya.
Bahlil mengatakan meski seluruh layanan perizinan di ESDM sudah melalui Online Single Submission (OSS), namun belum berjalan maksimal karena masih harus dilakukan simplifikasi dalam perizinan. Sehingga akan dirapikan secara bertahap untuk mempercepat proses perizinan di Kementerian ESDM.
Selain masalah perizinan, Bahlil mengaku juga melakukan penataan agar lifting minyak bumi RI bisa naik. Hal ini menjadi penting mengingat konsumsi minyak per hari di angka 1,5-1,6 juta barel minyak per hari.
Sedangkan tingkat produksi minyak nasional hanya berada pada angka 600 ribu barel per hari. Menurutnya kondisi inilah yang kemudian membuat impor minyak RI semakin membengkak dan mengurangi devisa negara.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Bahlil mengatakan pihaknya sudah melakukan reaktivasi sumur-sumur yang idle agar bisa berproduksi kembali. Kemudian ada juga upaya mengintervensi sumur eksisting dengan menerapkan teknologi-teknologi sehingga ada kenaikan produksi, seperti yang dilakukan oleh Pertamina di Blok Rokan, Riau, dengan memanfaatkan teknologi EOR.
Kwpada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, hal lain yang akan ditata, lanjutnya, adalah bagaimana mendorong porsi pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi. Indonesia masih kekurangan 8,1 GW, atau 8.100 MW, atau secara persentase masih kurang sekitar 8% dari target.
“(Bauran EBT) kita yang harusnya sudah 23% di tahun depan, kita masih kurang sekitar 8,1 GW, itu sama dengan kurang lebih sekitar 8% kekurangan kita,” tandas Bahlil. (Calvin G. Eben-Haezer)