Jumat, 28 Maret 2025

Berdikari Institute : Indonesia Perlu Segera Kembali Ke Kurs Tetap

JAKARTA- Kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah, yang disebabkan oleh tingkat volatilitas (gejolak pasar) yang tinggi di pasar mata uang internasional. Tindakan yang jitu dari pemerintah Indonesia dalam menghadapi guncangan belakangan ini sangatlah mendesak. Akan lebih baik bila tindakan yang diambil tepat dalam menyasar persoalan, yaitu mengendalikan fluktuasi nilai tukar rupiah demi tercapainya stabilitas moneter. Hal ini disampaikan oleh peneliti Berdikari Institute, Eddy Burmansyah kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (5/9).

 

“Stabilitas Moneter seharusnya merupakan bagian dari fundamental ekonomi yang kuat. Pengendalian yang efektif dapat ditempuh melalui kebijakan menganti sistem nilai tukar rupiah, dari Kurs Mengambang Bebas (Free Floating Rate) menjadi Kurs Tetap (Fixed Exchange Rate),” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa kurs tetap merupakan sistem nilai tukar dimana pemegang otoritas moneter tertinggi suatu negara (Central Bank) menetapkan nilai tukar dalam negeri terhadap negara lain yang ditetapkan pada tingkat tertentu tanpa melihat aktivitas penawaran dan permintaan di pasar uang. Indonesia sendiri pernah menggunakan kurs tetap dari tahun 1964 sampai dengan September 1986. Gebrakan Sumarlin, menteri keuangan pada saat itu menandai deregulasi sektor keuangan di era Orde Baru.

Pada masa itu kurs dolar AS pernah hanya Rp415 di tahun 1971,  Rp625 pada tahun 1978, menjadi sekitar Rp935 pada tahun 1983, dan Rp1.644 pada devaluasi terakhir September 1986. Setelah 1986, Indonesia menggunakan sistem kurs mengambang terkendali sebelum diganti dengan sistem kurs mengambang bebas pada bulan Agustus 1997.

Rupiah Rentan

Menurut Eddy Burmansyah, sistem kurs mengambang bebas yang diterapkan Indonesia  sejak 1997, membuat rupiah rentan terhadap gejolak global, disamping itu sistem ini membuka ruang bagi terjadinya  aksi spekulasi oleh pelaku pasar, sementara intervensi pemerintah sangat terbatas untuk untuk menjaga harga, selain itu system ini tidak tepat untuk negara berkembang seperti Indonesia.

“Dalam latar ekonomi dunia yang penuh uncertainty (ketidak pastian) seperti saat ini, kurs tetap merupakan pilihan yang lebih tepat untuk dipertimbangkan, karena Kurs tetap lebih memberi kepastian dalam kalkulasi harga/cost bagi eksportir dan importer,” ujarnya.

Kurs Tetap menurutnya juga memudahkan penyusunan APBN, khususnya pos-pos anggaran yang berkaitan dengan valuta asing seperti penerimaan migas dan pembayaran utang luar negeri berikut bunganya.

“Tidak dipusingkan dengan naik turunnya nilai tukar rupiah yang dapat mengganggu ekonomi pada umumnya dan ekspor-impor serta inflasi pada khususnya,” jelasnya.

Selain itu, Kurs Tetap akan mengurangi hasrat spekulasi di pasar valas karena setiap penukaran rupiah ke mata uang asing vice-versa terkena komisi penukaran, sementara kursnya tetap. Sehingga mengembalikan fungsi utama uang sebagai alat pembayaran dan akumulasi modal dalam negeri, dan bukan sebagai barang dagangan.

“Dengan rezim kurs tetap diharapkan para pemilik uang terdorong menggunakan uangnya untuk diinvestasikan di sektor riil, bukan untuk spekulasi valas. Stabilitas kurs mata uang juga bisa mengurangi permainan pressure group atau politisasi atas fluktuasi rupiah dari kekuatan dalam negeri maupun luar negeri,” ujarnya. (Aan Rusdianto)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru