JAKARTA- Berbagai kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia hari ini, seperti melemahnya nilai tukar rupiah, jatuhnya nilai ekspor, beban utang luar negeri, dan lain sebagainya, adalah bukti betapa kuatnya ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekonomi ekonomi global. Sistim ekonomi neoliberal, yang diadopsi pemerintah Indonesia sejak pasca reformasi hingga kini, berkontribusi memperparah ketergantungan itu. Hal ini disampaikan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD), Agus Jabo Priyono kepada Bergelora.com seusai diskusi publik bertajuk ‘Sanggupkah Pemerintahan Jokowi-JK Menyelamatkan Bangsa Dari Ancaman Krisis?’ di Jakarta, Jumat (4/9).
“Saat ini rakyat sedang menunggu paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK untuk mengeluarkan bangsa ini dari belitan krisis ekonomi. Sembari menunggu dengan berharap-harap cemas, sejumlah pertanyaan pun muncul. Apakah paket kebijakan ekonomi pemerintah nantinya bisa mengeluarkan bangsa ini dari belitan krisis ekonomi? Seperti apa warna paket kebijakan ekonomi pemerintah tersebut: masih berwarna neoliberal atau mengambil jalan Trisakti?”
Menurutnya, ekonomi Indonesia sedang mengalami gonjang-ganjing. Ini ditandai dengan sejumlah fakta, seperti nilai tukar rupiah yang terur merosot, penurunan ekspor, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Ditambah lagi dengan situasi ekonomi dunia yang mengkhawatirkan. Ekonomi Tiongkok, yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi dunia kala Amerika Serikat (AS) dan Eropa diterpa krisis, juga sedang mengalami perlambatan. Belakangan, Tiongkok mendevaluasi mata uang Yuan telah merontokkan mata uang di kawasan Asia-Pasifik.
“Asumsi bahwa Indonesia sedang diambang krisis ekonomi kembali mengemuka. Bahkan sebagian kalangan menyebut situasi ekonomi sekarang ini mirip dengan krisis moneter tahun 1998 yaitu rupiah anjlok, harga-harga naik, PHK massal di mana-mana, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Pemerintahan Jokowi-JK menurutnya sebetulnya sempat menerbitkan harapan akan perbaikan ekonomi Indonesia. Di saat kampanye Pemilu lalu, banyak yang memprediksi bahwa jika Jokowi-JK terpilih, maka nilai tukar rupiah akan menguat di level 10.000 per dolar AS.
Selain itu, karena mengusung Trisakti dan kerap mengeritik neoliberalisme, Jokowi-JK diharapkan bisa memutar haluan ekonomi Indonesia yang sedang menemui jalan buntu. Maklum, haluan ekonomi sebelumnya dari era rezim Orde Baru hingga SBY membawa banyak masalah yaitu dominasi kapital asing, ketimpangan yang kian melebar, terperangkap dalam utang yang membengkak, kehancuran industri dalam negeri, dan lain sebagainya.
“Tetapi harapan itu kini pelan-pelan menguap. Nilai tukar rupiah makin anjlok dari level 12.474 per dolar AS pada 2 Januari 2015 menjadi 14.000 per dolar AS menjelang penutupan bulan agustus 2015. Penurunan nilai tukar rupiah ini dianggap tertinggi sejak krisis ekonomi tahun 1998,” jelasnya.
Seharusnya menurutnya penurunan nilai tukar rupiah seharusnya menguntungkan ekspor Indonesia. Nilai rupiah yang lebih rendah membuat ekspor Indonesia lebih murah. Tetapi faktanya hal tidak terjadi karena dua hal. Pertama, sebagian besar ekspor Indonesia bersandar pada ekspor komoditas, sementara harga komoditas di pasar dunia sedang menurun. Kedua, sebagaian barang ekspor menggunakan komponen bahan baku impor.
“Sebaliknya, penurunan nilai tukar rupiah membawa kerawanan ekonomi yang cukup besar. Pertama, penambahan akumulasi utang hanya karena selisih nilai tukar. Pemerintah pernah membuat simulasi bahwa setiap rupiah depresiasi sebesar 100 rupiah per dollar AS, beban tambahan ke kewajiban utang 4,9 triliun,” ujarnya.
Menurutnya, jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam negeri yang menggunakan bahan baku impor meningkat. Artinya, beban biaya produksi meningkat. Situasi ini menebar ancaman PHK massal.
“Di sisi lain, utang luar negeri Indonesia terus menumpuk. Total utang luar negeri Indonesia sudah menembus angka Rp 4.000 triliun. Sementara pemerintahan Jokowi-JK, yang di masa kampanye berjanji akan mengurangi ketergantungan terhadap utang, masih doyan menarik utang untuk membiayai proyek infrastrukturnya,” ujarnya. Diskusi publik ini menghadirkan pembicara Politisi PDIP, Arif Budimanta, Koordinator Projo (relawan Pro Jokowi), Budi Arie Setiadi, Pengamat Ekonomi Politik, Hendrajit dan Wasekjend KPP PRD, Rudi Hartono ( Alif Kamal)