Oleh: Dr. Kurtubi *
MAYORITAS rakyat sesungguhnya menghendaki PERUBAHAN bersama Anies menuju Indonesia ke depan yang lebih BAIK, lebih MAJU, lebih Makmur dan lebih BERKEADILAN.
Meski kita sudah merdeka lebih dari 72 tahun, bangsa besar dengan penduduk lebih dari 270 juta orang dengan luas wilayah darat dan laut mirip dengan luas Amerika, mirip dengan luas Benua Eropah. Serta dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa kekayaan/asset berupa Sumber Daya Alam yang besar dan beragam.
Namun FAKTANYA hingga hari ini, seperti yang dikritisi oleh Capres Anies Baswedan, masih banyak daerah/ wilayah yang gelap gulita kekurangan listrik, masih banyak terjadi ketidakadilan dimana-mana. Korupsi merajalela meningkat pesat dimana-mana.
Terjadi kesenjangan ekonomi yang cenderung kian melebar, rakyat miskin jumlahnya masih sangat banyak, jutaan orang masih hidup dibawah garis kemiskinan versi BPS yang masih menggunakan acuan batas kemiskinan jauh dibawah acuan PBB/Bank Dunia.
Kebijakan ekonomi nasional masih banyak yang biased dan tidak fair antara lain karena semakin suburnya pejabat tinggi negara yang merangkap menjadi pengusaha.
Dari segi statistik, setidaknya ada dua indikator, yang bisa mencerminkan kondisi tingkat kehidupan rakyat saat ini yaitu, pertama, konsumsi listrik saat ini hanya sekitar 1100 kwh/ kapita. Angka ini salah satu yang terendah didunia. Hanya sekitar setengahnya tingkat konsumsi listrik di Malaysia, sepetiganya Thailand, dan sekitar seperempatnya RRT yg sudah punya 64 PLTN dan sekarang sedang membangun tambahan lebih 20 unit PLTN.
Konsumsi listrik per kapita kita saat ini sekitar seperenamnya Korsel, negara yang sejak lahir terancam perang dengan tetangganya di Utara.
Kedua, rendahnya tingkat rata-rata konsumsi listrik suatu negara mencerminkan tingkat kemakmuran. Seperti yang disampaikan oleh Anies, bahwa dimalam hari terlihat oleh satelit begitu luasnya daerah-daerah yang masih mengalami kegelapan di malam hari, terutama daerah-daeeah luar Jawa.
Rendahnya konsumsi listrik per kapita ini sejalan dengan rendahnya rata-rata tingkat income percapita rakyat kita yang hanya sekitar $5000/kapita. Angka ini jauh dibawah Malaysia, dibawah Thailand dan dibawah RRT yang penduduknya sekitar 5 kali Indonesia.
Kini RRT dalam waktu relatif singkat berubah menjadi negara industri maju dengan penerimaan devisa hasil ekspor industrinya TERBESAR didunia mengalahkan Amerika Serikat. Padahal ditahun 1980an pertumbuhan ekonomi RRT maupun income percapitanya masih lebih rendah dari negara kita dimana ekonomi negara kita tahun 1977 tumbuh dengan 8.7% dan pada tahun 1980 saat produksi minyak mencapai sekitar 1.6 juta bph, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 9,88%, yang merupakan pertumbuhan ekonomi TERTINGGI dalam sejarah ekonomi Indonesia.
Hal ini bisa terjadi karena keberhasilan pengelolaan Sektor Migas dibawah UU No.8/1971 dimana terjadi ekspor minyak mentah dan ekspor LNG yang tinggi.
Kejayaan industri migas nasional dihancurkan oleh CAWE-CAWE IMF yang meminta Indonesia untuk mencabut dua UU, yaitu UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971. Kedua UU ini menjadi fondasi pengelolaan migas yang sesuai konstitusi dan telah terbukti berhasil mengembangkan Industri migas dan Industri LNG nasional. Sehingga sektor migas menjadi sumber utama penerimaan devis export dan penerimaan APBN.
Sayang sekali, tata kelola migas yang sudah benar, diganti dengan UU hasil cawe-cawe IMF, yaitu UU Migas No.22/2001 yang terbukti menjadi PENYEBAB kehancuran industri migas dan indistri LNG nasional.
Ini terjadi karena sistem tata kelola migas dibawah UU Migas berubah menjadi sistem yang ribet ruwet birokratik tidak investor friendly, investor dibebani pajak semasa eksplorasi/belum berproduksi. Investasi eksplorasi anjlok, produksi anjlok turun setiap tahun selama dua dekade.
Industri LNG hancur karena Menteri ESDM yang sebenarnya tidak eligible memegang Kuasa Pertambangan, akhirnya harus menunjuk pihak ketiga untuk membangun Kilang LNG di Papua dan Kilang LNG di Masela yang akhirnya menimbulkan kerugian negara.
Padahal yang terbukti berhasil membangun Kilang LNG di Arun Aceh dan di Badak Kaltim tanpa biaya APBN adalah Pertamina.
UU hasil cawe-cawe dari IMF ini sangat BURUK. Terbukti dengan dicabutnya belasan pasalnya oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk membubarkan SKK Migas yang kemudian berubah nama menjadi SKK Migas yang bersifat ad-hoc/sementara namun tetap ada sampai sekarang. Kesemuanya menimbulkan Ketidakpastian Hukum yang berkepanjangan hingga hari ini. .
Kita harap Presiden RI ke 8 Anies Baswedan bisa MELAKUKAN PERUBAHAN dibidang SDA, wabilkhusus di bidang pengelolaan SDA migas nasional dengan jalan Presiden mengeluarkan PERPPU mencabut UU Migas hasil Cawe-cawe IMF yang sudah sangat jelas merugikan negara dan menyengsarakan rakyat, seperti cawe-cawe IMF diberbagai bidang kebijakan yang akhirnya merugikan Indonesia. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Menteri Investasi Bahil Lahadia ketika pemerintah menolak mentaati cawe-cawe IMF agar Indonesia membatalkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah produk tambang yang akan merugikan Indonesia.
Seyogyanya UU Migas yang berasal dari IMF ini segera dicabut dengan cara yang sangat Konstitusional lewat PERPPU mengikuti contoh kebijakan yang diambil oleh PM Juanda di era sistem Parlementer. Saat itu pemerintah mencabut Indische Mijnwet (UU Pertambangan Zaman Kolonial yang pasti tidak sesuai dengan pasal 33 UUD45) dengan PERPPU yang kemudian diterima oleh DPR dan kemudian menjadi UU No.44/Prp/1960.
Kedua UU ini merupakan implementasi dari pasal 33 UUD45 dibidang SDA migas yang harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namanya saja Koalisi PERUBAHAN. Tentu harus siap untuk merubah Kebijakan yang SALAH dan terbukti merugikan rakyat dengan membiarkan UU Migas No.22/2001 hasil cawe-cawe IMF tetap berlaku hingga lebih dua dekade. UU Migas No.22/2001 ini bisa dicabut dengan cara yang sangat efisien dan sangat konstitusional yaitu,– Presiden mengeluarkan PERPPU mencabut UU Migas No.22/2001.
Kebijakan dengan PERPPU ini dilakukan agar bangsa besar ini ekonominya bisa tumbuh tinggi secara adil dengan dukungan sektor migas. Sehingga tidak lagi tumbuh muter-muter di level 5%. Sektor migas yang dikelola sesuai konstitusi sebelum diterapkannya UU dari IMF. Saat itu sektor HULU membuahkan hasil berupa produksi dan ekspor minyak mentah yang tinggi dan sektor HILIR berhasil membangun industri LNG dimana Kilang LNG di Arun Aceh dan di Bontang Kaltim dibangun oleh Pertamina TANPA menggunakan dana APBN.
Sehingga mengembalikan Sektor migas untuk kembali sesuai dengan Konstitusi menjadi langkah sangat penting untuk menjadi negara industri maju dengan income per capita yang tinggi dan berkeadilan.
Jakarta, 15 Juli 2023.
*Penulis Dr. Kurtubi, Ketua Bidang Energi dan Mineral DPP Nasdem. Alumnus CSM, IFP dan UI