JAKARTA- Sebenarnya ada kebijakan yang lebih mendesak di sektor migas ketimbang menghapus jenis BBM tertentu dan menaikkan harga BBM. Kebijakan tersebut adalah perlunya segera kebijakan untuk mengakhiri ketidakpastian hukum yang diderita oleh sektor migas nasional. Hal ini ditegaskan oleh pakar energi, Dr. Kurtubi kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (10/9).
“Fakta ketidakpastian Hukum yang berkepanjangan di sektor migas ini telah berlangsung sejak berlakunya UU Migas No.22/2001 yang diendorsed oleh IMF (International Monetary Fund) ketika Pemerintah pinjam uang pada lembaga keuangan internasional itu saat terjadi krisis moneter tahun 1998,” jelas pengajar Diplomasi Energi di Universitas Paramadina ini.
Mantan pengajar Ekonomi Energi Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menjelasakan mengapa sektor migas mengalami ketidakpastisn hukum adalah akibat kehadiran Undang-undang Migas No. 22/2001, justru dengan mencabut dua Undang-undang yang sudah sesuai dengan Pasal 33 UUD’45.
“Padahal Undang-undang No.44/Prp/1960 dan Undang-undang No. 8/1971 yang dicabut oleh Undang-undang Migas No. 22/2001 sudah terbukti berhasil menaikkan produksi migas hingga 1,7 juta bph dan berhasil melahirkan industri LNG sehingga penerimaan devisa export dan penerimaan APBN didominasi oleh sektor migas,” jelasnya.
Alumnus CSM Amerika, IFP Petancis dan UI Jakarta ini mengingatkan bahwa ekonomi nasional pernah tumbuh mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 9.8% ditahun 1980-an.
Sedangkan Undang-undang Migas No.22/2001 yang berlaku hingga saat ini, sangat buruk, tercermin dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut 17 pasal. Termasuk MK membubarkan BP Migas yang kemudian diganti nama menjadi SKK Migas yang bersifat solusi sementara/ad-hoc, namun tetap ada sampai sekarang.
“Undang-undang Migas No.22/2001 ini juga menurutnya tidak disukai investor karena menciptakan sistem tata kelola yang ribet, ruwet dan birokratis. Karena perijinan diurus sendiri oleh investor,” ujarnya.
Bahkan menurutnya, Pasal 31 Undang-undang Migas ini mewajibkan investor membayar pajak dan pungutan semasa eksplorasi. Menyadari pasal 31 UU Migas ini sangat menghambat investasi. Menteri Keuangan menerbitkan Permenkeu untuk “menganulir” pemberlakuan Pasal 31 UU Migas yang menimbulkan pertanyaan, Apakah Menteri Keuangan berwenang “membatalkan” pasal dalam sebuah undang-undang yang hirarkinya lebih tinggi.
Segera Akhiri Ketidakpastian
Kurtubi menegaskan ketidakpatian hukum yang dialami oleh sektor migas nasional harus segera diakhiri dengan cara yang konstitusional dan efisien karena sudah sangat darurat.
Ia mengingatkan DPR-RI sudah dua kali gagal menghasilkan Undang-undang Migas yang baru.
Untuk ketiga kalinya sekarang DPR-RI membahas RUU Migas yang baru, malah justru berusaha hendak mempertahankan Kuasa Pertambangan tetap dipegang oleh Menteri ESDM yang sejatinya tidak eligible.
“Sehingga Presiden Jokowi sudah sangat tepat mengambil kebijakan mencabut Undang-undang Migas No. 22/2001 dengan menerbitkan PERPPU agar sektor migas nasional bisa bangkit kembali untuk meningkatkan produksi migas nasional,” ujarnya.
Dengan PERPPU itu juga menurut Kurtubi, Indonesia dapat mengembangkan cadangan gas besar seperti yang ada di Natuna untuk menghasilkan LPG, LNG dan memanfaatkan CO2 nya untuk EOR (Enhanced Oil Recovery) lapangan tua di Sumatra.
Terbuka juga peluang memanfaatkan teknologi eksplorasi yang sudah proven berhasil menaikkan produksi migas Amerika secara significant. Telah berhasil merubah status Amerika dari negara pengimpor minyak terbesar didunia menjadi saat ini Amerika menjadi negara produsen minyak terbesar didunia yang bisa mengendalikan harga minyak dunia.
“Migas sebagai sumber daya alam fosil pada saatnya bisa dikonversi menjadi produk petrokimia dengan efisien yang juga dibutuhkan oleh ekonomi dunia dalam jangka panjang hingga pasca transisi energi,” tegasnya. (Web Warouw)