Selasa, 11 Februari 2025

Bohong, BPJS Melaksanakan Gotong Royong

JAKARTA- Walaupun Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin sudah menyatakan haram pada Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan namun beberapa kalangan masih meyakini BPJS Kesehatan menjalankan prinsip gotong royong dan dana dari orang kaya dipakai untuk menutupi biaya kesehatan orang yang tidak mampu. Padahal dalam kenyataannya, pasien  yang tidak mampu  juga tetap harus membayar sebagian biaya yang tidak ditanggung oleh BPJS, walaupun premi bulanannya dibayai oleh negara lewat PBI (Penerima Bantuan Iuran). Hal ini disampaikan oleh Ketua DKR Sumatera Utara, Sugianto dari Medan kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (2/8).

 

“Bohong itu BPJS gotong royong. Pasien miskin harus bayar co-sharing, karena tidak semua pelayanan dibayar BPJS. Gotong royong iu prinsipnya kesadaran, sukarela atau ta’arub, yang kuat bantu yang lemah. coba perhatikan praktek. Ini seluruh rakyat dipaksa masuk BPJS yang lemah justru disuruh bayar lagi. Kemana uang masyarakat non PBI? Kemana dana PBI dari APBN, kemana dana PT Askes, dana APBD dan dan dana perusahaan yang disetor ke BPJS?” ujarnya.

Ketua DKR Sumatera Selatan, Nasrul Tajuddin dari Palembang mengingatkan bahwa, petinggi BPJS selalu mengeluh dana BPJS defisit, tanpa bisa diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Walaupun pemerintah menambah anggaran dan harga premi BPJS dinaikkan, tetap saja rakyat dan buruh mengeluh masih harus bayar. Sementara pelayanan dokter dan rumah sakit juga tidak dibayar sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan pasien.

“Kemana dana yang terkumpul? Ya sudah pasti dipakai untuk investasi, beli saham, obligasi dan lainnya, karena perintah undang-undang begitu. Juga dipakai untuk menggaji para petinggi, karyawan dan operasional BPJS. Tidak ada bedanya dengan asuransi murni, bedanya BPJS dipaksa pakai undang-undang seluruh rakyat wajib ikut,” ujarnya.

Ketua DKR Sulawesi Selatan, Aslan dari Makassar membantah pernyataan konseptor BPJS, Prof Hasbullah Tabrany, yang menolak BPJS Kesehatan disamakan dengan perusahaan asuransi murni. Hasbullah sebelumnya secara terpisah kepada pers menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang menjadi bagian Pemerintah. Dengan demikian JKN harus dipandang sebagai hubungan Negara dan warga negara, bukan orang dengan perusahaan asuransi.

“Sangatlah jelas bahwa BPJS itu adalah asuransi,yang berkedok sosial, makanya ada premi yang berkedok iuran perbulan. Bahkan penyelenggara negarapun diwajibkan membayar. Bagaimana ini dikatakan hubungan negara. Jelaslah ini asuransi karena Undang-undangnya juga mengatakan demikian,” jelasnya.

BPJS Sewenang-wenang

Ketua DKR Banten, Argo Bani Putra kepada Bergelora.com mempertanyakan mengapa rakyat masih ditarik iuran BPJS padahal sudah ditarik pajak. Karena dibenarkan Undang-undang maka BPJS bertindak sewenang-wenang.

“Kalau pajak masuk ke negara, tapi kalau iuran BPJS dikumpulkan untuk investasi saham dan obligasi sesuai perintah undang-undangnya. Departemen keuangan bisa diaudit oleh BPK tapi BPJS menolak diaudit. Pajak itu syariah karena kembali ke masyarakat, tapi iuran tidak syariah, karena kalau sakit tidak kembali pada pembayar iuran,” ujarnya terpisah menjawab Thabrany yang mengatakan bahwa iuran BPJS Kesehatan bersifat sama seperti pajak yang berlaku wajib. Thabrany juga mengatakan bahwa jika iuran BPJS tidak sesuai syariah, maka pajak pun tidak sesuai syariah.

Ketua DKR Nusa Tenggara Barat (NTB), Lahmuddin dari Mataram mengatakan bahwa pandangan ulama yang mengharamkan BPJS adalah sudah benar, karena mempraktekkan asuransi komersial.

“Walaupun ada istilah sosial, ini pelanggaran syariah karena tidak ada sukarela, semua dipaksa ikut BPJS. Sudah ikutpun peserta BPJS masih dipersulit untuk mendapatkan pelayanan,” jelasnya terpisah menanggapi Thabrany yang mengatakan bahwa bahwa asuransi takaful pun komersial, maka BPJS tidak memerlukan akad sama persis seperti asuransi komersial. Tetapi BPJS diselenggarakan dengan prinsip dan regulasi yang telah ditetapkan.

Ketua DKR Jawa Timur, Ardiansyah Mahari dari Surabaya menjelaskan bahwa sudah sangat jelas uang yang dikumpulkan dikelola oleh managemant BPJS bukan oleh anggota sehingga tidak perlu berlindung didalam prinsip dana amanah.

“Selain laporan pasien, hampir setiap hari kita baca dikoran dan media sosial bagaimana pasien miskin terlantar karena harus bayar co-sharing yang tidak dibayar BPJS, padahal BPJS mengumpulkan triliunan dana dari masyarakat dan pemerintah serta perusahaan,” ujarnya menjawab Thabrany yang menyatakan bahwa iuran merupakan dana amanah, bukan uang BPJS Kesehatan, yang dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan peserta BPJS secara bertahap seluruh penduduk Indonesia.

Gaji Direksi

Ketua DKR Jawa Tengah, Nurhadi dari Magelang juga mempertanyakan gaji direksi dan manajemen BPJS yang sangat besar dibandingkan dengan buruknya pelayanan kesehatan karena pembatasan kuota pembayaran pelayanan oleh BPJS.

“Di Undang-undang SJSN sudah tertulis bahwa sistimnya dikelola secara asuransi. Jangan bohongi rakyat yang gak baca undang-undang. Rakyat tahu koq setinggi apa gaji managemen dan direksi BPJS,” ujarnya terpisah menjawab pernyataan Thabrany yang mengatakan BPJS adalah program negara untuk kepentingan rakyat. Thabrany juga mengatakan bahwa BPJS Kesehatan bukan perusahaan asuransi.

Ketua DKR Kalimatan Barat, Jimmy Kiroyan mengakui bahwa memang ada pasien yang diuntungkan oleh BPJS, namun tidak sebanding dengan jumlah yang lebih besar dari pasien yang dirugikan oleh BPJS. Ia juga mengingatkan bahwa selain sudah mengesahkan undang-undang yang melahirkan BPJS yang haram, DPR saat ini juga menutup mata dan telinga terhadap keluhan masyarakat pada pelayanan BPJS

“Justru menjadi pertanyaan mengapa ada yang diuntungkan dan mengapa ada yang dirugikan. Karena berarti sistim pelayanan ini ada diskriminasi. Siapa yang berhak menegur BPJS? Menkes saja lepas tangan, DPR juga tutup mata terhadap korban BPJS,” ujarnya terpisah menanggapi pernyataan anggota Komisi IX DPR yang sebelumnya secara terpisah menolak bicara halal dan haram karena BPJS berguna bagi yang sakit.

Ketua DKR Nanggroe Aceh Darussallam, Mohammad Zamzami mengatakan bahwa, menyelesaikan persoalan BPJS tidak bisa hanya merevisi Undang-undang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang BPJS. Karena Undang-undang itu dibuat dengan tujuan yang seperti terlaksana saat ini.

“Tujuannya adalah pengumpulan dana untuk investasi. Dibentuk BPJS yang tidak bisa diaudit pemerintah. Dijalankan secara paksa. Semua ada di dua undang-undang itu. Bagaimana merevisinya? Jalan satu-satunya adalah presiden mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) SJSN dan BPJS,” ujarnya menanggapi anggota Komisi IX yang sebelumnya yang mengatakan BPJS tidak boleh mundur dan dihalang-halangi, cukup dengan revisi di DPR.

(Randy/Ratna/Nachung/Didi/Abu/Muhyi/Mochtar/Deddy/Gerry/Dian)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru