JAKARTA- Pemerintahan Jokowi perlu segera mempercepat pembangunan PLTN untuk dapat segera mengatasi persoalan energi yang hanya bersandar pada energi fosil.
Duta Besar Federasi Rusia, Lyudmila Vorobieva menegaskan untuk itu penting sekali bagi Indonesia memiliki tehnologi PLTN bekerjasama dengan Rusia. Karena Rusia paling berpengalaman panjang membangun ratusan PLTN dan memiliki teknologi yang paling modern Generasi IV.
“Orang mengatakan biaya membangun PLTN sangat mahal. Hal ini benar tapi semakin lama PLTN beroperasi maka akhirnya biayanya menjadi sangat efektif dan efisien,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (22/5).
Sebelumnya dalam “Dialog Nawacita Kebangkitan Nuklir Untuk Pembangunan Nasional” secara daring, Kamis (18/5) Lyudmila Vorobieva sebagai Keynote Speaker menegaskan bahwa Rusia sangat siap untuk kerjasama sistim energi nuklir di Indonesia.
“Sampai saat ini Fedasi Rusia telah membangun lebih dari 100 PLTN di seluruh dunia. Dalam negara Federasi Rusia ada 25 PLTN. Di Belarusia Armenia, Ukraina ada 15 PLTN. China 4 unit India 2 unit Iran 1unit, Finlandia 2 unit, Jerman 6 unit, Ceko 6 unit, Slovakia 6 unit, Hungaria 4 unit. Saat ini lebih 10 unit sedang kami bangun di beberapa negara lainnya. Jadi kami sudah memiliki pengalaman cukup panjang dalam membangun PLTN diberbagai negara,” paparnya.
Ia menjelaskan Uni Soviet yang sekarang Rusia, adalah negara yang pertama menggunakan nuklir untuk memproduksi industri listrik sejak tahun 1954. Pada tahun 1959 Rusia jugalah yang pertama kali di dunia memiliki kapal bertenaga nuklir untuk penghancur es bernama yang diber nama ‘Lenin’. Pada 2019, Rusia meluncurkan Floating Nuclear Power Plant (FNPP) atau PLTN terapung pertama di dunia dengan nama ‘Akademik Lomosonov’.
Rusia adalah negara yang berkelimpahan sumberdaya mineral, namun Rusia memilih mengembangkan nuklir sebesar 20 persen untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Di Rusia tidak ada penolakan terhadap penggunaan nuklir untuk energi.
Tentu ada yang masih ketakutan dengan energi nuklir setelah peristiwa Chernobyl, yang pernah terjadi lebih dari 30 tahun lalu. Kemudian diikuti peristiwa di Fukusima di Jepang yang secara keseluruhan adalah proyek Amerika yang sudah diketahui semua orang sebagai tragedi akibat human error.
“Saya bukan ahli nuklir tapi sejauh yang saya tahu energi nuklir saat ini memiliki 5 kali lebih aman dibandingkan yang di Chernobyl,” ujarnya.
Pada tahun 2007, berdiri Rosatom State Atomic Energy Corporation, sebuah perusahaan negara di Rusia. Rosatom saat ini menjadi yang perusahaan satu-satunya di dunia yang mampu menawarkan industri nuklir pada seluruh rentang produk dan jasa.
Kelebihan Rosatom
“Kelebihan Rosatom, sebagai perusahaan negara adalah di Rusia yang bertanggung jawab terhadap semua urusan energi nuklir. Hal ini berbeda dengan perusahaan-perusahaan sejenis negara lain yang merupakan perusahaan privat. Jadi Rosatom dibawah kontrol pemerintah. Jika Rosatom akan bermitra dengan negara lain, maka proyek tersebut dijamin oleh pemerintah Rusia langsung,” jelas Lyudmila.
Rosatom menurutnya memiliki solusi energi dengan tehnologi modern secara khusus. Sebagai perusahaan berskala besar Rosatom saat ini sedang mengerjakan 10 proyek besar di berbagai negara. Selain itu Rosatom juga sedang mengerjakan PLTN berskala kecil yang sangat unik.
Berbeda dengan perusahaan lain, salah satu paket yang disiapkan Rosatom adalah pengolahan limbah, sehingga menjawab masalah tentang limbah nuklir yang banyak dikuatirkan negara-negara barat.
Lyudmila menjelaskan, Rosatom juga sedang bekerja sama dengan China dalam bangun PLTN baru Generasi IV. Rosatom menawarkan paket terintegrasi yang tidak hanya mendesain dan membangun PLTN, tapi juga termasuk training keahlian di Rusia yang akan diberikan pada pekerja baik post graduate maupun occasional.
Rosatom juga menyediakan pendanaan yang sangat fleksibel yang akan dibicarakan saat negosiasi sebelum kontrak ditandatangani.
“Saya perlu menekankan bahwa Rosatom tidak sekedar mendesain, tapi juga sudah beroperasi.
Nuclear Power Plant (FNPP) atau PLTN terapung
Akademik Lomosonov yamg beroperasi di wilayah utara Rusia. Solusi seperti ini akan sangat dibutuhkan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan yang punya masalah kegempaan. Kapal PLTN terapung dapat bersandar dimanapun dan dalam keadaan darurat bisa dilepas berpindah dengan mudah ketempat lain,” ujarnya.
Partner Kunci
Lyudmila menegaskan bahwa bagi Rusia, Indonesia adalah partner kunci di negara-negara Asia dan Asia Pasifik secara keseluruhan dalam kerjasama yang khususnya dibidang energi khususnya energi nuklir.
Ia menjelaskan, Indonesia dan Rusia 2006 telah membuat kesepakatan untuk mengembangkan energi nuklir. Sebuah komite dibentuk untuk menyusun mekanisme bersama untuk mengembangkan energi nuklir di Indonesia.
“Setiap tahun kita bertemu untuk mendorong pembangunan energi nuklir. Sekali lagi pada saat pemerintah Indonesia siap bekerja sama maka kami akan sangat gembira untuk membantu realisasi PLTN,” ujarnya.
“Dialog Nawacita Kebangkitan Nuklir Untuk Pembangunan Nasional” di selenggarakan oleh Lembaga Kajian Nawacita (LKN) bekerjasama dengan Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HMNI) dan Komite Persahabatan Rakyat Rusia – Indonesia bertujuan untuk mendesak pembangunan PLTN di Indonesia.
Hadir sebagai pembicara Drs. Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, Prof. Dr. Zaki Su`ud, M.Eng, ahli nuklir. Dr. Ir. Bakri Arbie, Praktisi dan Dr.Rohadi Awaludin, ORTN BRIN. Acara dipimpin oleh Wahid Supriyadi, Dubes RI untuk Rusia & Belarus 2016-2020.
“Kita menginginkan pemerintah tidak menunda-nunda kerjasama pembangunan PLTN dengan Rusia. Karena kebutuhan untuk mendorong maju Indonesia menjadi negara industri sangat membutuhkan energi nuklir. Rusia adalah negara yang paling berpengalaman untuk itu,” demikian Markus Wauran dari HMNI.
Saat ini Indonesia barusan bekerjasama dengan perusahaan Amerika Thorcon untuk pengadaan kapal PLTN terapung yang baru akan dibangun di Korea Selatan untuk ditempatkan di Bangka Belitung. Kapal PLTN apung ini baru merupakan proyek percobaan menggunakan thorium. Bangka Belitung adalah salah provinsi penghasil thorium.
“Ini baru percobaan. Baru pada tahap desain. Berbeda dengan yang sudah dibangun oleh Rosatom di berbagai negara,” ujar Markus Wauran kepada Bergelora.com.
Ia juga tidak mengerti mengapa pemerintah memilih Amerika dibandingkan Rusia yang yang sudah lama menjalin kerjasama untuk persiapan pembangunan PLTN di Indonesia. (Web Warouw)