Oleh: Hasnu
DESA Wadas berada di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini terdiri dari 11 dusun, yakni; Kaliancar I, Kaliancar II, Karang, Kalimanggis, Krajan, Gowok, Winongsari, Kaligendol, Randuparang, Beran, dan Kaliawis.
Secara geografis, desa ini terletak di Perbukitan Menoreh. Batas-batasnya dilingkungi oleh Pekacangan, Bleber, Kedungloteng, Kaliurip, Kaliwader, Cacaban kidul, dan Cacaban lor. Iklimnya sangat cocok untuk mengembangkan budi daya ternak seperti kambing, sapi, dan ayam kampung. Di Wadas, warga mudah mendapatkan pakan dan rumput mudah. Sedangkan kotoran ternaknya dapat menjadi pupuk pertanian organik.
Warga Desa Wadas sendiri hidup dalam kebersamaan yang kuat. Mereka juga melakukan banyak kegiatan positif di Desa Wadas, seperti kegiatan sosial-keagamaan. Selain itu warga juga mencintai seni dan budaya, seperti kuda lumping, barongan, dan lainnya.
Alam di Wadas juga indah dan penuh pesona. Tidak berlebihan jika wilayah ini adalah taman firdaus yang tersembunyi di Provinsi Jawa Tengah.
Celakanya, tanpa memeperhatikan banyak hal, tempat ini akan menjadi lokasi pertambangan batu andesit yang akan merusak semua keindahan itu. Pemerintah seharusnya meningkatkan potensi sumber daya alam di Wadas agar warganya makin sejahtera dan tidak malah merusaknya.
Cerita turun-temurun yang diyakini menyebutkan kekuatan semesta menjadikan Wadas tempat para kasatria. Sebagai desa para kasatria (spartan) anak-anak dan pemuda di desa ini tentu sangat terlatih dan teruji. Sejak anak sampai dewasa, mereka sudah terlatih bertahan di alam terbuka.
Warga Wadas juga memiliki konsep kesederhanaan dan bukan kemewahan.
Secara historis, Wadas ternyata juga menjadi tempat yang sangat penting. Seorang warga sepuh yang sakti menuturkan ada sebuah makam kramat di desa itu. Makam dari orang yang bernama Dipoyudo ini sering memancarkan cahaya pelangi di sekelilingnya.
Kabarnya, Dipoyudo ini adalah anak Pangeran Diponegoro. Pada saat perang gerilya, Pangeran Diponegoro memerintahkan agar membuka hutan membangun suatu desa yang bernama Wadas. Artinya batu keras sekaligus akronim dari Wadaing Satrio (Wadah Para Kasatria).
Di sekitar makam Pangeran Dipoyudo di atas bukit di Wadas juga ada tujuh makam kramat lainnya. Ini adalah makam anggota pasukan perang yang menyertai Pangeran Dipoyudo. Mereka adalah para leluhur warga Desa Wadas hari ini.
Ini juga menjadi alasan mengapa warga Desa Wadas mempertahankan bukit di desanya agar tidak ditambang.
Ada kisah seorang pemburu celeng, melihat ada bajing di dahan pohon di Randu Alas yang berukuran lingkar 3 kain batik, sekitar 6 meter. Kemudian dia menembaknya. Bajing itu tetap bertengger tenang. Kenapa? Bedil (senapan) itu macet!
Lalu karena kesal, ditembaknya pohon randu itu. Tak ada bunyi dor, tak ada lobang peluru. Bedil itu macet juga.
Gagal menembak, ia turun dari bukit dimana pohon Randu Alas besar itu tumbuh. Tak percaya bedilnya rusak, maka ditembaknya buah durian yang banyak disitu. Dor, dor, dor! Bedil meletus, durian jatuh.
Pada suatu waktu, Randu Alas setinggi sekira 70 m itu tersambar petir. Lubang hitam menganga dan kemudian jadi sarang lebah madu. Akihirnya sarang lebah tertutup oleh kulitnya, ya Randu Alas telah menelan sarang lebah itu!
Sudah sejak lama beredar cerita dari para leluhur bahwa Wadas dikenal memiliki pohon-pohon yang angker. Penunggunya tak hanya satu sehingga mendorong banyak orang datang untuk bertapa di sekitarnya.
Pohon-pohon besar itu dipercaya sebagai semacam gunungan dalam pewayangan (kulit). Simbol alam semesta.
Cerita turun-temurun juga menyatakan, “Bila randu alas ini ditebang atau tumbang maka Wadas akan jadi Karang Abang atau pertumpahan darah! Dua kejadian berdarah akibat kericuhan pada 23 April 2021 dan 8,9, dan 10 Feb 2022 menjadi bukti. Baru sampai tahap pengukuran saja sudah mengalirkan darah.
Tak jauh dari pohon randu alas itu, ada kawasan hutan ‘primer’ tempat tumbuh pohon-pohon besar seperti pohon jati yang dulu ditanam para keturunan Pangeran Dipayuda. Hutan (alas) ini bernama Sedudo.
Alas Sedudo sangat angker. Tak semua warga Wadas berani datang ke sana.
Sering terdengar suara aneh, seperti orang tertawa, menjerit, mengerang, menangis, berbincang, berbaris, kehidupan pasar dsb. Siang dan malam. Kawasan itu dipercaya sebagai kerajaan besar para lelembut atau jin.
Sayang, tiga tempat sakral itu (makam Pangeran Dipayuda, Randualas dan Alas Sedudo) dianggap sepele dan tak bernilai. Sebab, akan dilenyapkan dan dihancurkan oleh tambang quarry.
Mungkin karena ini pula Pangeran Diponegoro menjadikan Wadas sebagai markas gerilianya? Sebelumnya, ia telah mengusir para ahli Belanda yang berniat menambang “sesuatu” di kawasan Wadas itu.
Nah, itu nyaris sebangun dengan yang terjadi sekarang! Sebelum meninggalkan Wadas, Pangeran Diponegoro menancapkan sebuah tombak pusaka. Ia berpesan, “Bila tercabut akan muncrat lumpur tanpa henti.”
Lihat saja nanti bila JKW, LBP dan GP tetap memaksakan kehendaknya menuruti desakan RRC sebagai investor PSN Bendungan Bener dan penambangan andesit di Wadas. Mungkin kejadian lumpur Lapindonya Abu Rizal Bakrie akan terulang di Wadas.
Pada tahun 1980-an, Gubernur Akabri Magelang menjadikan Wadas sebagai pusat latihan perang bagi Taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) yang sekarang berubah menjadi Akademi Militer (Akmil).
Mungkin alasannya, Wadas pernah jadi markas pasukan Pangeran Diponegoro.
Para pemuda terbaik di seluruh tanah air ingin menimba ilmu di akademi yang berada di Lembah Tidar, Magelang itu agar menjadi tentara profesional, yang diantaranya berkewajiban menjaga kedaulatan tanah air dan negara. Sesuai dengan prinsip perjuangan Pangeran Diponegoro: *Sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati, pecahing dhadha, lutahing ludiro*( Setitik jari di dahi, sejengkal tanah di bumi, kita pertahankan sampai mati, pecahnya dada, muncratnya darah kita). Itulah sebenarnya pegangan sikap dan tekad warga Wadas penolak tambang, para keturunan Pangeran Diponegoro dan pasukan tempurnya.
Bayangkan Wadas adalah tempat latihan para calon jenderal ahli perang TNI-AD. Rata-rata ada 220 perwira remaja Angkatan Darat yang berlatih di Wadas setiap tahun.
Pangeran Diponegoro memilih Wadas sebagai salah satu markas geriliya karena memiliki kondisi geografis yang ideal dan didukung alam yang menyediakan berbagai potensi agar bisa bertahan selama-lamanya. Termasuk, alam yang menyimpan misteri spritual dan religio magis (randu alas dan alas sedudo).
Dengan demikian, Pangeran Diponegoro juga yakin Wadas adalah tempat strategis bagi pelatihan militer angkatan darat untuk menciptakan perwira militer yang tangguh, tegas, dan profesional.
Sejarah mencatat Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia. Ada 8.000 Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa tewas dan kerugian materinya sekira 25 juta Gulden.
Namun impian menjadi tantara profesional itu akan putus bila tidak ditopang fasilitas medan latihan yang tepat dan istimewa. Kondisi ideal geografis Desa Wadas menyediakan medan strategis untuk pelatihan para taruna Akmil akan hilang jika wilayah itu menjadi pertambangan batu andesit.
Penulis, Hasnu, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, aktivis mahasiswa