Sabtu, 24 Mei 2025

Dari Penjara Pondok Bambu, Siti Fadilah Menulis Eksepsi

JAKARTA- Sidang mantan Menteri Kesehatan, Dr. dr Siti Fadilah Supari Sp.JP(K) berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/2). Setelah pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum KPK Iskandar Marwanto, Majelis hakim Pengadilan Tipikor mengijinkan Siti Fadilah membacakan eksepsinya.

Dibawah ini eksepsi (nota keberatan) Dr. dr Siti Fadilah Supari Sp.JP(K) lengkap disalin dari tujuh lembar tulisan tangan yang ditulis di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Minggu (5/2) dan disalin ulang oleh Bergelora.com:

Yang saya muliakan Majelis Hakim

Assalammualaikum WW

Pertama-tama saya haturkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengajukan eksepsi sederhana ini. Saya hanyalah warga negara biasa yang pernah menjadi Menkes pada tahun 2004-2009 dalam pemerintahan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono-red). Saya menjadi menteri bukan karena aggota partai apapun juga bukan anggota PAN (Partai Amanat Nasional-red) seperti yang diisukan selama ini. Saya menjadi Menkes yang berasal dari ormas Muhammadiyah.

Bapak dan Ibu Majelis hakim yang saya muliakan.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Bapak dan Ibu dan kepada lembaga-lembaga hukum di negara kita tercinta ini, sebenarnya saya ingin mengungkapkan rasa heran saya terhadap apa yang terjadi pada diri saya saat ini. Seperti Bapak dan Ibu yang Mulia dengarkan apa yang didakwakan kepada saya, benar-benar saya merasa sangat heran kok bisa terjadi seperti itu. Kalau boleh saya ungkapkan, keheranan saya adalah mulai dari dakwaan pertama yang berkaitan dengan kasus dokter Mulia Hasjmy (MH) sudah divonis karena melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Hasnah, eselon tiga di Depkes (Departemen Kesehatan, Sekarang Kementerian Kesehatan-red).

Di dalam amar keputusan pada bulan September 2013 terdapat keterangan dari Majelis Hakim sebagai berikut: “Bahwa tuduhan (pernyataan-red) dari tim pengacara MH yang mengatakan bahwa tindakan tipikor (tindak pidana korupsi-red) MH mendapat perbantuan dari Menkes ternyata tidak terbukti”. Maka Majelis Hakim menolak tuduhan (pernyataan-red) tersebut. (Karena perbuatannya itu MH dihukum 4 tahun  penjara-red). Sebagai orang yang awam hukum, saya merasa hal tersebut sudah selesai. Apalagi kejaksaan (sebelumnya-red) selalu membalikkan berkas ke Bareskrim Polri karena tidak lengkapnya alat bukti untuk dijadikan P-21 terhadap diri saya.

Tiba-tiba pada akhir tahun 2013, berkas perkara saya di Bareskrim dilimpahkan ke KPK. Jubir KPK mengumumkan bahwa status TSK (tersangka-red) di Bareskrim tidak serta merta menjadi TSK (tersangka-red) di KPK, karena KPK akan mengulangi pemeriksaan. Namun sampai tahun 2014, saya tidak pernah diperiksa atau dikonfirmasi tentang kasus ini. Tiba-tiba saja saya mengetahui juga menjadi TSK dalam kasus ini setelah ditahan di Rutan Pondok Bambu dan hanya di-BAP satu kali. Saya sebagai orang awam di bidang hukum hanya bisa kooperatif saja karena saya yakin tidak melakukan apa yang dituduhkan pada diri saya. Namun di dalam hati saya banyak tanda tanya yang belum bisa mendapakan jawaban sampai saat ini.

Apakah referensi Majelis Hakim yang ada di amar keputusan pengadilan MH itu berbeda dengan Majelis Hakim yang lain? Apakah keterangan atau catatan Majelis Hakim dari amar keputusan pengadilan yang mengikat tidak bisa dianggap sebagai fakta hukum yang valid? Mohon maaf yang setinggi-tingginya Bapak Ibu Majelis Hakim yang mulia. Ini sekedar pertanyaan-pertanyaan dari orang awam di bidang hukum. Saya yakin Bapak dan Ibu Majelis Hakim yang Mulia sangat mumpuni dalam mendalami suatu kasus dengan nurani yang tulus demi keadilan yang harus ditegakkan.

Bapak dan Ibu Majelis Hakim yang saya muliakan,

Masalah yang kedua adalah soal gratifikasi, di mana saya didakwa telah menerima TC (Travelers Cheque) sebanyak kurang lebih Rp 1,2 Miliar. Demi Allah saya tidak pernah menerima TC dari siapapun,– dan untuk apa,– bila ada yang memberikan TC kepada saya. Karena menurut dugaan penyidik, pemberian itu ada hubungannya dengan satu proyek di mana saya tidak mempunyai wewenang apapun di proyek tersebut. Karena nilai proyek di bawah Rp 50 Miliar. Pada amar keputusan tentang kasus yang terkait dengan proyek tersebut dinyatakan bahwa tidak ada kerugian negara di dalam proses tender proyek tersebut (sesuai hasil pemeriksaan BPK sebelumnya-red). Mohon maaf yang sebesar-besarnya Bapak dan Ibu yang mulia bila saya lancang dalam bercerita ini. Tidak ada niat apapun kecuali untuk menyampaikan hal yang sebenarnya. Saya yakin Bapak dan Ibu Majelis Hakim adalah penegak keadilan yang dirahmati Allah SWT karena apapun yang Bapak dan Ibu akan putuskan tanggung jawabnya adalah kepada Allah SWT. Mudah-mudahan Allah SWT selalu membimbing Bapak dan Ibu Majelis Hakim yang mulia ini.

Bapak dan Ibu Majelis hakim yang Mulia,

Tidak lengkap rasanya bila saya tidak bercerita bagaimana sikap saya terhadap kejujuran ketika memimpin Depkes.

a) Pada awal saya menjabat Pak Teten Masduki, ketua ICW sempat memberikan apresiasi kepada Depkes yang saya pimpin karena dianggap bersih berdasarkan hasil survei beliau.

b) Sejak awal menjabat, gonjang-ganjing bencana alam yang sangat luar biasa mewarnai pemerintahan SBY. Depkes selalu tampil di depan dan prima dalam melindungi rakyatnya di wilayah bencana. Banyak penghargaan internasional terutama dari WHO dan PBB dalam mengatasi tsunami di Aceh.

c) Di penghujung tahun 2005, Indonesia dirundung wabah flu burung yang menggemparkan dunia. Saat itu Indonesia hampir saja diembargo karena telah diumumkan di CNN bahwa di Indonesia yaitu di tanah Karo (Sumatera Utara-red) telah terjadi Human-to-human transmission yang artinya penularan antar manusia.

Dengan perjuangan yang gigih dan tidak mudah akhirnya Indonesia mampu mengatasi wabah flu burung bahkan mengubah/merevisi aturan internasional tentang “virus sharing” di dunia. Sehingga perjalanan virus ganas yang membahayakan dunia melalui wabah bisa dipantau dan dikendalikan dengan transparan.

Kesibukan saya tercurah untuk urusan-urusan seperti itu. Sehingga oleh Sekjen (Sekretaris Jenderal-red) Depkes, (Sjafi’i Ahmad-red) semua proyek yang akan  berjalan, dibuat tidak tergantung pada saya, supaya lancar (saya lebih fokus pada program-program terobosan) dan saya tidak perlu menandatangani sebagai pertanggungjawaban. Maka sangat tidak mungkin saya mengurusi proyek-proyek kecil seperti dakwaan-dakwaan tersebut.

d) Di dalam negeri mungkin baru periode 2004-2009 harga obat turun bermakna. Menurunkan harga obat untuk kepentingan rakyat membutuhkan integritas seorang menteri dan menuntut keberanian yang luar biasa untuk menghindari gratifikasi-gratifikasi yang tidak kelihatan. Selain itu memasang HET (harga eceran tertinggi-red) di tiap kemasan obat agar rakyat membeli obat sesuai dengan harga yang tercantum. Untuk obat-obat bebas, pada periode itu ada obat seribu (dengan harga seribu rupiah-red), sehingga rakyat dapat menjangkau obat-obatan bebas. Untuk mensukseskan program seperti ini sudah pasti sangat jauh dari gratifikasi bahkan pasti dimusuhi bagi yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini.

e) Jamkesmas (Jaminan Kesehataan Masyarakat-red):

Periode itu belum ada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial-red). Depkes yang saya pimpin membuat program yang membuka mata yaitu rakyat miskin mendapat layanan kesehatan gratis dari pemerintah tanpa iuran apapun. Singkat kata, Jamkesmas mendapat alokasi dana Rp 5,1 Triliun untuk melayani 76,4 juta rakyat Indonesia (sekarang membengkak menjadi Rp 19 Triliun untuk 100 juta PBI (Penerima Bantuan Iuran-red) di BPJS).

Kala itu dana sebesar Rp 5,1 Triliun saya titipkan ke kas negara agar selamat dari korupsi siapapun. Meskipun beberapa bank berusaha merayu agar dititipkan di bank, tentu saja dengan memberikan keuntungan, alhamdulillah semuanya bisa ditolak dan dana itu dikelola melalui kas negara. Sistem ini saya ciptakan agar tidak dikorupsi.

Maka dakwaan-dakwaan bahwa saya menerima sesuatu (gratifikasi) sangat tidak relevan atau tidak cocok dengan integritas yang saya miliki dalam memimpin Depkes ketika itu (bisa dilihat dari program-program yang berjalan pada saat itu). Mudah-mudahan gambaran-gambaran yang seperti itu dapat menambahkan wawasan Bapak dan Ibu Majelis hakim yang Mulia dalam mengkaji perkara yang saya hadapi. Yang saya tuliskan ini hanya sebagian kecil karena akan terlalu banyak bila semua saya tulis.

f) Yang terakhir Bapak dan Ibu Majelis hakim yang Mulia, saya sekarang sudah tua, 67 tahun, hampir 70 tahun dengan segudang penyakit permanen (hipertensi, jantung, atrial fibrillation plus diastolic dysfuncition, autoimmune disease dengan manifestasi uveitis yang menyebabkan glaucoma). Sejak tiga minggu lalu saya sudah mengajukan permohonan untuk operasi mata oleh karena glaucoma (penyebab utama kebutaan di negara maju).

Bapak dan Ibu Majelis hakim yang Mulia,

Saya mohon kebijakannya untuk mengijinkan saya dioperasi segera untuk menghindari kebutaan dan kami mohon maaf bila kondisi badan saya sudah tidak prima karena ketuaan (kami menderita Osteoarthritis di tulang belakang sampai dengan tulang ekor) sehingga akan tidak tenang bila duduk terlalu lama seperti saat ini.

Demikianlah yang perlu saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu Majelis hakim yang Mulia. Mohon maaf sebesar-besarnya atas kelancangan saya menyampaikan hal ini kepada Bapak dan Ibu Majelis hakim yang Mulia. Mohon dimaafkan pula bila ada kata-kata yang tidak berkenan,– juga tulisan saya yang tidak indah karena terbiasa menulis resep untuk pasien.

Saya terpaksa memberanikan diri untuk menulis dengan tangan karena di Rutan Pondok Bambu tidak diperkenankan membawa laptop dan tidak ada fasilitas laptop yang disediakan.

Hormat kami,

Dr. dr Siti Fadilah Supari Sp.JP(K)

Sebelumnya, dalam sidang Siti Fadilah didakwa dengan dua perkara. Pertama, kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) untuk kebutuhan antisipasi kejadian luar biasa masalah kesehatan akibat bencana di Departemen Kesehatan tahun 2005.

Kedua, proyek pengadaan alkes untuk kebutuhan Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan dari dana Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2007.

Oleh KPK, Siti Fadilah Supari dikenakan Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor). (Web Warouw)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru