Oleh: Petrus H. Hariyanto*
Pertama bertemu denganmu sekitar tahun 1992. Aku dan kamu sama-sama menghadiri diskusi di kampus UGM. Aku lupa temanya, tapi kampus UGM saat itu sedang ramai-ramainya membicarakan SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi). Terjadi pertentangan antara mahasiswa yang menentang SMPT dan yang mendukung. Yang menentang adalah kelompok KM UGM (Keluarga Mahasiswa UGM), dan yang pro adalah kelompok mahasiswa dikomandoi Anis Baswedan.
Kesanku kepada Bimo saat itu, dia adalah aktivis pers mahasiswa yang tidak setuju mahasiswa melakukan demonstrasi. Kalau tidak salah dia adalah pengelola Pers Mahasiswa Balairung atau Bulak Sumur, aku lupa. Sedangkan aku waktu itu ditugaskan reportase ke UGM oleh Majalah Mahasiswa Sastra Universitas Diponogoro. Saat itu ada garis demarkasi antara kelompok non demonstran dan kelompok mahasiswa yang mengambil jalan turun ke jalan.
Pada pertemuan kedua di acara pertemuan aktivis pers mahasiswa se-Indonesia di Universita Brawijaya Malang. Kesan ku kepada Bimo Nugroho belum hilang. Saat itu dia begitu aktif berbicara dalam pertemuan itu, yang akhirnya pertemuan itu memutuskan menyepakati berdirinya Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Tahun berikutnya kesan kepadanya berubah. Beberapa kali aku bertemu dengannya dalam aksi antar kota. Dia telah menjadi anggota SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta). Bahkan pada pada bulan Agustus 1994 kami sama-sama menghadiri Konggres SMID. Kami sama-sama terpilih menjadi Pengurus Pusat SMID. Kalau dia Ketua Departemen Hubungan Internasional, aku Ketua Departemen Pengembangan Organisasi.
Hampir dua tahun kami berdua berjuang bersama memimpin SMID. Bagi kami yang berada di Pengurus Pusat SMID saat itu merasakan kesulitan memimpin organisasi, karena betapun organisasi masih mencari bentuk. Belum lagi kami tidak mempunyai sekretariat. Awalnya, menjadi penghuni malam kantor WALHI. Kami baru bisa bekerja setelah kantor itu tutup di sore hari. Malam hari kami tidur di sana dan pagi hari kami sudah harus bangun karena staff WALHI sudah berdatangan.
Saya dan Bimo pernah merasakan makan sehari dua kali dengan menu sayur kangkung dan telur dadar yang tipis sekali. Kadang sekali karena yang makan begitu banyak, apalagi kalau kedatangan anggota SMID atau buruh yang datang ke markas dengan tipe rumah 36, di daerah Kedondong Depok. Atau kami berdua pernah tinggal di markas SMID di jalan F gang Z, Kebun Baru, Tebet yang setiap hari kebanjiran dari air limbah mandi kita. Atau benar-benar markas itu kebanjiran karena luapan sungai Ciliwung.
Yang kukagumi dari dia adalah hasrat menulisnya tinggi sekali. Kalau teman-teman yang lain sehabis demontrasi seharian pasti langsung beristirahat. Kalau Bimo tidak, dia tetap terjaga dan menulis. Bahkan kami pernah menjadi buronan polisi, dalam persembunyian dia tetap bisa berkonsentrasi menulis. Tulisannya tersebar di berbagai media massa cetak saat itu. Dia juga beberapa kali menulis artikel untuk Buku “Laporan Tahunan HAM” yang diterbitkan YLBHI. Aku sangat terkesan dengan kemampuannya.
Sejak meletus “Peristiwa 27 Juli 1996”, rasanya aku sudah tidak pernah bertemu lagi dengannya. Aku pernah dapat kabar dia aktif di Majalah Pantau, bahkan menjadi komesioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Dua minggu lalu aku diajak menengoknya karena dia sakit kanker. Tampak fotonya di FB Bimo kurus sekali. Sayang aku tidak bisa ikut serta. Kemarin sore aku mendapat kabar dari istriku kalau dia masuk ICU, karena ada pendarahan dan sudah tidak bisa diintervensi lagi secara medis.
Sore ini kabar duka datang kepadaku kalau Bimo Nugroho telang berpulang. Seketika kenangan lama kami berdua hadir lagi. Itu yang membuat aku sedih dan menyesal tidak menjenguk dia dua minggu lalu. Selamat jalan kawan. Selamat jalan pejuang. Jasamu tak mungkin kami lupakan.
tentang Bimo.
*Penulis Mantan Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID)