Jumat, 29 Maret 2024

Dicari, Tokoh Pelanjut Spirit Bandung!

JAKARTA- Spirit Konferensi Asia-Afrika 60 tahun lalu yang anti imperialisme dan anti neokolonialisme sulit ditemukan hari ini. Hal ini disebabkan tatanan dunia yang berubah dibawah kekuasaan imperialisme. Hal ini disampaikan oleh politis Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Lily Wahid kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (21/4).

 

“Hari ini dibutuhkan tokoh yang kuat untuk membangkitkan kembali spirit Konferensi Asia-Afrika seperti 60 tahun lalu. Ini yang sulit didapatkan sehingga spirit itu sudah melenyap bersamaan perubahan tatanan dunia,” tegasnya.

Pada waktu 60 tahun lalu menurutnya, ada banyak tokoh-tokoh dunia yang sama seperti Bung Karno, lahir dan besar secara politik dari jaman perjuangan kemerdekaan dari kolonialisme dan anti imperialisme.

“Bung Karno tidak sendiri melawan Imperialisme dan neo-kolonialisme yang masih berupaya menjajah bangsa-bangsa seluruh dunia. Ada Kruschev dari Uni Soviet, Fidel Castro dari Cuba, Chou Enlai dari Republik Rakyat Cina, Nehru dari India. Mereka semua sepakat melawan Imperialisme dan neo-kolonialismenya,” jelasnya.

Namun menurutnya setelah Uni Soviet dihancurkan lewat Perestroika, memasuki jaman globalisasi yang membawa neoliberalisme perimbangan dunia berubah menjadi tidak seimbang lagi.

“Kemajuan teknologi membuat kapitalisme menguasai dunia. Nilai-nilai hidup berubah. Sampai seolah-olah di dunia tidak adalagi ideologi, idealisme dan paham lainnya. Yang berkuasa adalah paham pasar,” ujarnya.

Penjajahan dunia oleh imperialisme menurutnya tetap berlangsung dalam bentuk baru. Dunia tetap dikuasai oleh segelintir orang pemilik modal besar dengan menindas rakyat dari negara-negara yang seperti sudah merdeka tetapi sebenarnya terjajah.

Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia Afrika atau KAA; kadang juga disebut Konferensi Bandung) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau Imperialisme Amerika Serikat.

Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung. Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961. Inilah isi Dasasila Bandung; (1) Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB; (2) Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa; (3) Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil; (4) Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain; (5) Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB; (6) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain; (7) Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara; (8) Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBBcc; (9) Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama; dan (10) Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional. (Web Warouw)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru